Rabu 28 Aug 2024 18:12 WIB

Saran Pengamat Transportasi untuk Pengemudi Ojol, Minta Pemerintah Bikin Aplikasi Ojol

Negara seperti Korea Selatan membuat aplikasi untuk melindungi para supir.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Sejumlah pengemudi ojek online melakukan aksi demo di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (23/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pengemudi ojek online melakukan aksi demo di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (23/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno turut merespons rencana unjuk rasa pengemudi ojek online (ojol). Kabarnya, pada Kamis (29/8/2024) siang WIB, akan ada demonstrasi di Jakarta disertai dengan aksi off bid atau menolak order dari pelanggan yang dilakukan para ojol.

Djoko mengaku sering berkomunikasi dengan pengemudi ojol. Ia mengetahui keresahan mereka. Namun ia menilai berbagai tuntutan yang bakal dilayangkan, tidak terlalu berdampak signifikan pada kenaikan pendapatan.

Baca Juga

"Saya ajarkan mereka, kalau demo jangan kayak dulu-dulu. Percuma. Pemerintah juga cuek. Jadi saya bilang, anda demo minta pemerintah buat aplikasi baru," kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat ini kepada Republika.co.id, Rabu (28/8/2024).

Dengan membuat aplikasi baru dari negara, menurut Djoko itu bukti pemerintah melindungi para pengemudi ojol. Namun, saat ini, jika potongannya 20 persen saja itu semakin menyulitkan orang-orang yang mengais rezeki dari aktivitas tersebut.

"Kecuali diambil 10 persen masih oke. Ini kan lebih. Minta bayar pajak, katanya bukti pajaknya nggak pernah dikirim," ujar Djoko.

Saat beroperasi di tahun perdana, aktivitas ojol terlihat menjanjikan. Pendapatan para pengemudi bisa mencapai 8-12 juta per bulan. Beberapa individu sampai meninggalkan pekerjaan lamannya dan mencoba menggeluti dunia ojol.

"Satpam-satpam pada pindah, nah sekarang dapat Rp 3 juta per bulan aja, alhamdulillah," ujar Djoko.

Pada intinya, ia menilai sebagai langkah solusi, negara perlu membuat aplikasi sendiri. Lalu libatkan seluruh pemerintah daerah untuk pengelolaan dan pengawasan. Potongan maksimal 10 persen.

"Sehingga pemda itu dia dapat duit, ikut ngawasin. Sekarang, kalau demo siapa yang mau nanggepin? Pernah keluar bosnya? Udah enak-enakan jadi menteri," tutur Djoko.

Ia mengaku sempat menyarankan apa yang menjadi uneg-unegnya kepada jajaran Kementerian Perhubungan, beberapa tahun lalu. Rupanya tidak ditanggapi secara efektif. Ia mencontohkan negara seperti Korea Selatan membuat aplikasi untuk melindungi para supir.

Sebelumnya, beredar kabar bakal adanya demontrasi yang dilakukan pengemudi ojek online (ojol) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Aksi tersebut berlangsung pada Kamis (29/8/2024) siang WIB.  Ketua Umum Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia, Igun Wicaksono menjelaskan, beberapa kelompok ojol dan kurir lokal Jabodetabek siap melakukan aksi damai. Ada tuntutan yang diutarakan kepada perusahaan aplikasi juga terhadap pemerintah.

"Informasi dari rekan-rekan kami bahwa aksi akan diikuti sekitar 500-1000 pengemudi ojol dari berbagai komunitas di Jabodetabek. Rencana pelaksanaan pada jam 12.00 dengan rute aksi Istana Merdeka, kantor Gojek di Petojo, Jakarta Pusat, dan kantor Grab di Cilandak, Jakarta Selatan," kata Ketua Umum Garda Indonesia itu dalam keterangan resminya yang diterima Republika.co.id, pada Rabu (28/8/2024).

Ia menegaskan, Garda Indonesia mendukung dan menghormati aksi tersebut. Terpenting jangan sampai menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat (Kamtibmas). Menurutnya, apa yang bakal terjadi normal adanya.

Itu sebagai wujud solidaritas dan kesamaan nasib  para pengemudi ojol. Intinya berangkat dari ketidakpuasan terhadap aplikator dan pemerintah.

"Para pengemudi ojol yang makin tertekan oleh perusahaan aplikasi sedangkan pihak Pemerintah juga belum dapat berbuat banyak untuk memenuhi rasa keadilan kesejahteraan para mitra perusahaan aplikasi yang ada dikarenakan hingga saat ini status hukum ojek online ini kami nilai masih ilegal tanpa adanya legal standing berupa Undang-Undang," ujar Igun.

Dengan belum adanya legal standing bagi para pengemudi ojol, lanjut dia, maka perusahaan aplikasi bisa berbuat sewenang-wenang tanpa ada solusi dari platform dan tanpa dapat diberikan sanksi tegas oleh Pemerintah. Hal inilah yang membuat timbulnya berbagai gerakan aksi protes dari para mitra.

Tak hanya demo, para ojol juga siap melakukan aksi off bid. Itu adalah tindakan tidak menerima pesanan konsumen lewat aplikasi, melingkupi semua orderan, baik itu makanan, antarjemput maupun kurir paket. 

"Harapan kami perusahaan aplikasi juga hormati penyampaian pendapat dari para mitranya sebagai bentuk masukan yang perlu diperhatikan dan Pemerintah juga dapat menyimpulkan permasalahan yang terus berulang di ekosistem transportasi online ini," ujar Igun.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement