Kamis 29 Aug 2024 14:18 WIB

Cerita Saksi Hidup Gempa 7,8 SR dan Tsunami Setinggi 13 Meter di Banyuwangi 1994

Para korban selamat dari gelombang tsunami setelah berpegangan di pohon.

Gempa bumi dan tsunami. (Ilustrasi)
Foto: Anadolu Agency
Gempa bumi dan tsunami. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUWANGI -- Direktorat Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengadakan kegiatan Refleksi Gempa Tsunami 1994 Kabupaten Banyuwangi, di Kantor Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (27/8/2024). Di acara tersebut sejumlah saksi hidup yang selamat dari maut saat gempa 7,8 SR dan terjangan gelombang tsunami setinggi 13 meter di Banyuwangi pada 2 Juni 1994.

Susilowati salah seorang warga yang selamat merawikan, saat kejadian dia baru berusia 11 tahun atau setara kelas 5 sekolah dasar. Saat kejadian, Susilowati bersama kakek dan nenek sedang berada di rumahnya di Pulau Merah. Jarak rumah tidak terlalu dekat dengan pantai, setelah terjadi gempa pada dini hari dia pun langsung tidur karena tidak mengetahui akan datangnya tsunami.

Ketika tsunami datang, Susilowati bersama kakek dan nenek sempat berlari ke luar dan memanjat pohon sirsak. "Rumah pun roboh dihantam gelombang," cerita Susilowati, seperti dinukil dari keterangan resmi yang diterima Republika.co.id dari BNPB, Kamis (29/8/2024).

Sekitar 15 menit kemudian air mulai surut dan warga lainnya datang membantu. "Kemudian kami bersama-sama mengungsi ke balai desa," ujar Susilowati dalam acara yang dihadiri Deputi Bidang Pencegahan BNPB Dra. Prasinta Dewi dan Direktur Kesiapsiagaan BNPB Drs. Pangarso Suryotomo tersebut.

Cerita berbeda disampaikan Yeni, korban selamat lainnya. Saat tsunami Yeni mengaku masih berusia 11 tahun dan tinggal bersama paman dan bibinya.

Pada terjangan tsunami waktu itu, cerita Yeni, dia diselamatkan pamannya yang saat itu belum tidur. Yeni selamat karena berpegangan pada material rumah yang saat itu ikut hanyut. "Kemudian ketika mengikuti arus, Yeni tersangkut sehingga dapat bertahan hingga air surut," kata dia.

Kesaksian serupa disampaikan Eko. Rumahnya terhantam ombak dua kali, hantaman pertama rumah masih bisa bertahan tetapi sudah banyak kerusakan, hantaman kedua langsung meluluhlantahkan rumah.

"Setelah itu Eko berenang mengikuti arus air dan menyangkut di kayu serta jerigen yang cukup besar yang dapat menyebabkan dirinya mengapung," ujar dia.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Ph.D menuturkan, berdasarkan cerita pengalaman dari beberapa warga yang selamat, ada hal-hal yang dapat dijadikan pembelajaran dan bekal bagi masyarakat. Antara lain dengan melakuan mitigasi berbasis vegetasi, yaitu melakukan penanaman pohon yang berakar kuat serta kokoh guna menjadi tempat untuk berlindung ketika tsunami datang.

"Dapat juga dengan menyediakan lahan untuk hutan pantai yang berisi pohon kelapa, pohon cemara, pohon pule, pohon ketapang, pohon mahoni dan pohon beringin yang juga dapat dimanfaatkan untuk penahan arus gelombang dan sebagai tempat berlindung. Selain itu penanaman mangrove sebagai salah satu upaya pemecah dan penahan gelombang tsunami," ucap Abdul Muhari.

Saat diterjang tsunami, kata dia, masyarakat dapat berenang mengikuti arus dan mencari sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mengapung. Seperti kayu, material rumah, jerigen, galon, dan benda apa pun yang bisa menahan agar tidak tenggelam. "Atau menaiki pohon yang diperkirakan kuat diterjang oleh gelombang tsunami," ujar Abdul Muhari.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement