REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ulama besar bernama Syekh Ahmad bin Muhammad bin Atha'illah as-Sakandari merupakan seorang pakar tasawuf dari abad ke-13. Gelar as-Sakandari merujuk pada kota kelahirannya, Iskandariah di Mesir. Ibnu 'Athaillah tergolong alim yang produktif menulis. Tak kurang dari 20 kitab sudah dihasilkannya. Pembahasannya tidak hanya meliputi bidang tasawuf, melainkan juga akidah, ushul fikih, nahwu, tafsir Alquran, dan hadis. Dari beberapa karyanya, Al-Hikam merupakan yang paling masyhur. Di dalamnya, ada beragam nasihat dan perenungan.
Tak Ikut Atur
Ibnu 'Athaillah menasihati kita agar ridha terhadap pengaturan yang telah digariskan Allah SWT. Untuk menjelaskan makna ridha, ia mengisahkan seorang syekh yang berkata, Seandainya penduduk surga telah dimasukkan ke surga dan penduduk neraka telah digiring ke neraka, kemudian hanya diriku yang tersisa, aku tak bisa menduga, ke mana aku akan dibawa.
Menurut Ibnu 'Athaillah, begitulah keadaan hamba yang tidak punya pilihan dan keinginan kecuali bersandar hanya kepada-Nya. Keinginan adalah apa yang Dia (Allah) inginkan. Seorang ulama mengatakan hal yang serupa, 'Pagi ini keinginanku berada dalam ketentuan Allah,' tutur sang salik.
Ia pun berpesan, jangan ikut mengatur bersama Allah. Kau mengetahui bahwa dirimu adalah milik Allah. Dengan demikian, kau tidak berhak mengatur apa yang bukan milikmu, katanya.
Makna Pasrah
Dalam Al-Hikam, Ibnu 'Athaillah menerangkan, kepasrahan bukanlah suatu bentuk kemalasan. Dengan bersikap pasrah, seorang Muslim tidak lantas berhenti bekerja dan berdoa dengan dalih semua telah diserahkan kepada Allah SWT. Sebab, setiap insan wajib berikhtiar.
Yang membuat seorang Mukmin istimewa, ia tak sekadar berusaha, tetapi juga meyakini Allah Mahamengatur segalanya. Sam bil giat bekerja dan berdoa, orang ber - iman akan menyandarkan harapan hanya kepada Allah Ta'ala.