Jumat 30 Aug 2024 13:09 WIB

Ilmuwan Antariksa Kembangkan Robot untuk Meneliti Antartika

IceNode akan merekam data dari bawah es selama satu tahun.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Gambar satelit menunjukkan lapisan es runtuh di Antartika Timur pada 8 Maret 2022.
Foto: nasa
Gambar satelit menunjukkan lapisan es runtuh di Antartika Timur pada 8 Maret 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Para teknisi yang membangun robot untuk eksplorasi benda-benda ruang angkasa untuk Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sedang merancang robot untuk mengukur seberapa cepat perubahan iklim mencairkan lapisan es di Antartika. Robot-robot ini juga akan mencari tahu berapa besar dampak pencairan es pada kenaikan permukaan air laut.

Prototipe kendaraan selam yang dikembangkan Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA di dekat Los Angeles, diuji di laboratorium Angkatan Laut AS di Artik. Robot itu diuji di bawah Laut Beaufort yang beku di utara Alaska bulan Maret lalu.

Baca Juga

"Robot-robot ini merupakan wahana untuk membawa instrumen sains ke lokasi-lokasi yang paling sulit dijangkau di bumi," kata teknisi JPL Nasa dan kepala investigasi proyek IceNode, Paul Glick dalam kesimpulan yang diunggah di situs NASA, Jumat (30/8/2024).

Pengukuran dan penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih akurat guna mengukur laju pemanasan air laut di sekitar Antartika yang mencairkan es benua itu. Sehingga memungkinkan para ilmuwan meningkatkan model komputer untuk memprediksi kenaikan permukaan laut di masa mendatang.

Lapisan es di Antartika menjadi fokus pertemuan lebih dari 1.500 akademisi dan peneliti benua putih itu dalam Konferensi Komite Penelitian Ilmiah Antartika ke-11 di Chile pekan ini. Dalam analisa JPL tahun 2022 menemukan pengikisan dan penipisan lapisan es Antartika sejak tahun 1997 telah menghilangkan masa es sebanyak 12 triliun ton.

NASA memperkirakan bila seluruh lapisan es Antartika mencair maka permukaan air luat seluruh dunia bisa naik hampir 60 meter. Butuh waktu ribuan tahun untuk membentuk lapisan es yang membentang di seluruh Antartika.

Lapisan es ini berfungsi sebagai penopang raksasa gletser agar tidak mudah meluncur ke lautan di sekitarnya. Citra satelit menunjukkan bagian luar es tersebut "melebur" menjadi gunung es dengan kecepatan yang tidak bisa diimbangi alam untuk membentuknya kembali.

Di saat yang sama, naiknya suhu lautan mengikis bagian bawah lapisan es. Fenomena yang para ilmuwan harap dapat teliti dengan lebih presisi dengan robot IceNode.

IceNode yang berbentuk silinder dengan panjang sekitar 2,4 meter dan diameter 25 cm akan dilepaskan dari lubang yang dibor di dalam es atau dari kapal laut. Meskipun tidak dilengkapi dengan alat penggerak, robot itu akan hanyut dalam arus, menggunakan perangkat lunak khusus, untuk mencapai “zona pendaratan” di mana lapisan air tawar yang membeku bertemu dengan air laut dan daratan. Rongga-rongga lapisan es ini tidak dapat ditembus oleh sinyal satelit sekalipun. “Tujuannya adalah untuk mendapatkan data langsung pencairan es laut,” kata ilmuwan iklim JPL Ian Fenty.

Setibanya di zona pendaratan, robot itu akan menjatuhkan pemberatnya dan mengapung untuk menempelkan diri ke bagian bawah lapisan es dengan melepaskan “roda pendaratan” bercabang tiga yang muncul dari salah satu ujungnya.

IceNode kemudian akan merekam data dari bawah es selama satu tahun, termasuk fluktuasi musiman, sebelum melepaskan diri untuk melayang kembali ke laut lepas dan mengirimkan hasil pembacaannya melalui satelit.

Sebelumnya, penipisan lapisan es didokumentasikan dengan altimeter satelit yang mengukur perubahan ketinggian es dari atas.

Selama uji coba lapangan pada bulan Maret, prototipe IceNode turun sedalam 330 kaki  atau 100 meter ke dalam lautan untuk mengumpulkan data salinitas, suhu, dan arus.

Pengujian sebelumnya dilakukan di Teluk Monterey California dan di bawah permukaan musim dingin yang membeku di Danau Superior, di lepas pantai Michigan. Glick mengatakan para ilmuwan yakin 10 robot cukup untuk mengumpulkan data dari satu rongga lapisan es.

"(Tetapi) kami masih harus melakukan lebih banyak pengembangan dan pengujian sebelum menyusun jadwal untuk penyebaran skala penuh," kata Glick.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement