Jumat 30 Aug 2024 22:06 WIB

Ekonom Melihat Belum Ada Urgensi Menaikkan Harga Tiket KRL

Pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat terlebih dahulu.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Lida Puspaningtyas
Sejumlah penumpang menunggu kedatangan KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin (29/4/2024). PT Kereta Commuter Indonesia mengusulkan kenaikan tarif KRL Commuterline Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Rencana kenaikan tarif tersebut sudah dibahas dengan pemerintah dan masih menunggu keputusan dari Kementerian Perhubungan.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah penumpang menunggu kedatangan KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin (29/4/2024). PT Kereta Commuter Indonesia mengusulkan kenaikan tarif KRL Commuterline Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Rencana kenaikan tarif tersebut sudah dibahas dengan pemerintah dan masih menunggu keputusan dari Kementerian Perhubungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muncul wacana skema pemberian tarif subsidi KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Artinya, ada potensi naiknya tarif angkutan tersebut bagi golongan yang dianggap mampu.

Berbagai pihak terkait menyebut hal ini masih dalam pembahasan. Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah menilai jika memang ada tarif baru, maka perlu diikuti konsekuensi sepadan. Misalnya para pengguna KRL yang harus membayar dengan harga lebih mahal mendapat pelayanan lebih.

Baca Juga

"Mereka yang bayar misalnya bisa Rp10.000, Rp15.000, atau taruhlah Rp 20.000, dia bisa dapat pelayanan makanan atau minuman, gerbongnya juga tersendiri," kata Trubus kepada Republika.co.id, Kamis (30/8/2024).

Ia menilai belum ada urgensinya adanya kebijakan ini. Masih sebatas wacana. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat terlebih dahulu.

Trubus menyarankan baik pemerintah maupun BUMN terkait, memperbaiki sarana dan dan fasilitas di lapangan terlebih dahulu. Jika itu sudah dilakukan bisa menjadi modal penting untuk membuat kebijakan baru.

"Perbaikan fasilitas, pelayanan, biar apa pun, saat menjadi kebijakan nanti, tidak mengurangi pengguna," ujarnya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyuarakan hal serupa. Menurutnya perlu ada peningkatan dari sisi pelayanan. Terutama untuk mereka yang bakal membayar lebih mahal.

Ia mendengar banyak kritik terkait pelayanan KRL. Ada pihak yang merasa belum sepenuhnya puas. Apalagi jika sudah ada pembedaan tarif.

"Ini juga harus jadi bahan evaluasi dan pihak KRL Jabodetabek harus berbenah, jika ingin menetapkan pembedaan tarif berdasarkan subsidi dan non subsidi," tutur Faisal.

Ia memahami tujuan besar dari pemerintah. Ini semata-semata demi penyaluran subsidi lebih tepat sasaran. Jika tidak demikian, maka masih ada kelompok golongan atas yang menikmati. Hal itu berpotensi terus menambah beban APBN.

Dalam Dokumen Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 disebutkan subsidi PSO dalam RAPBN tahun anggaran 2025 direncanakan sebesar Rp 7.960,1 miliar (Rp 7,9 triliun). Lebih rinci lagi, anggaran belanja Subsidi PSO tahun anggaran 2025 yang dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 4.797,1 miliar (Rp 4,79 triliun) untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodebek.

Ada poin dimana penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Dengan perubahan skema subsidi berbasis NIK, artinya tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga yang seperti sekarang.

"Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek," demikian kutipan isi dokumen tersebut.

Sejak 2016 tarif KRL Jabodetabek masih sama. Besaran tarifnya sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah 1.000 untuk setiap 10 kilometer.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement