Senin 02 Sep 2024 18:05 WIB

Konstitusi Punya DNA Otoritarianisme dan Rakyat Terobsesi Paham Satrio Piningit

Maka konstitusi kini butuh pembaruan karena sejak 1998 sampai kini sudah muncul ide dan suasana kenegaraan yang baru.

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

Diskusi berajuk 'Bicara Buku dengan Wakil Rakyat', Jumat siang 30 Agustus 2024. Anggota DPD Dr Abdul Kholik dan Pakar Hukum Tata Negara dan anggota DPD Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H dibahas juga mengenai perlunya kebaruan konstitusi Indonesia agar negara tidak terjebak dalam otoriarianisme.

Senator DPD asal Jawa Tengah Dr Abdul Kholik mengatakan saat ini baik konstitusi, parlemen, dan rakyat mempunyai masalah atau ketimpangan serius. Akibatnya wajar bila saat ini terjadi banyak masalah ketimpangan.

‘’Konstitusi punya masalah serius yakni punya DNA otoritarianisme. Maka reformasi konstitusi harus dilakukan karena banyak ide baru dan masalah muncul sejak 1998 sampai sekarang,’’ kata Abdul Kholik, dalam diskusi bertajuk ‘Bicara Buku Dengan Wakil Rakyat’ di Gedung Parlemen, akhir pekan lalu, 30 Agustus 2024.

Melihat kenyataan ini, lanjut Kholik, ke depan diharapkan bisa kebih tegas memberikan sebuah solusi melembagakan Trikameral secara fungsional. Ini terkait misalnya agar DPR dan DPD difungsikan setara khususnya pada kewenangan terkait otonomi daerah dan hubungan pusat daerah, serta pengelolaan sumber daya manusia.

Selain itu, melalui reformasi konstitusi naka nantinya MPR dapat melembagakan laporan kinerja tahunan pelaksanaan haluan negara oleh eksekutif, legisltaif (DPR dan DPD), yudikatif (MA, MK, KY) dan BPK,

‘’Maka nantinya implementasinya menjadi adanya haluan negara, kemudian RAPBN atau APBN. Kemudian pada soal program dilakukan DPD dan Presiden. Sedangkan anggaran dan program dilakukan oleh DPR dan Presiden,’’ujar Kholik.

Selanjutnya, reformasi konstitusi itu akan membuat penegasan produk legislasi dalam kategori baik yang merupakan norma fundamental dan instrumental. MPR difungsikan sebagai pengikat sistem ketatanegaraan (pemerintahan) melalui pemberlakuan haluan negara. DPR dan DPD kemudian difungsikan sebagai pelaksanaan haluan negara melalui pembentukan undang-undang penganggaran dan pengawasan.

Sementara mengenai problematika parlemen Indonesia, Kholik menyatakan seharusnya sebagai etalase suatu negara parlemen memang menjadi tumpuan dan ciri berjalannya demokrasi. Akibatnya proses pengambilan keputusan di parlemen dapat dipengaruhi oleh publik secara langsung. Ini karena parlemen itu berbeda sifatnya dengan eksekutif dan yudikatif yang memang tertutup.

Maka penerapan ‘distribution of power’ berdampak pada eksekutif, juga terlibat dalam pengambilan keputusan di parlemen. Jadi nantinya amandemen konstitusi mengarah pada parlemen bikameral, namun fakta kelembagaannya Trikameral, MPR, DPR, dan DPD.”Jadi konstitusi kini menjadi semakin penting di reformasi sebab dalam banyak kajian dan penelitian memang mempunyai DNA otoritarianistik. Dari akibat kenyataan ini akan membuat negara menjadi rawan penyimpangan demokrasi.”


Bagi rakyat Indonesia kerawanan akan munculnya suasana kekuasaan atau pemeritahan yang otoriter sangat dimungkinkan. Hal ini karena sebagian besar rakyat masih terbelenggu pada paham yang berbasis budaya Jawa, yakni ‘manunggaling kawula gusti’ (menyatunya rakyat dengan raja/penguasa). Selain itu rakyat kini juga masih terbelenggu paham munggu datangnya ‘satrio piningit’ untuk menegakkan keadilan, kesejahteran, hingga perlindungan rakyat, dan berbagai nilai ideal lainnya.

‘’Maka wajar apabila kini ada pernyataan dari pakar hukum tata negara Indonesia itu memang berbeda dengan Inggris. Indonesia adalah negara republik namun dilaksanakan dengan sistem kerajaan. Sedangkan Inggris adalah negara Kerajaan namun dipraktikkan dengan sistem republik,’’ tandas Abdul Kholik.

Sementara anggota DPD dan pakar hukum tata negara, Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H menyoroti keadaan tidak berlangsungnya sistem ‘chek and balances’ (penyimbang) dalam praktik ketatanegaraan Indonesia. Bahkan banyak elite yang menyatakan oposisi itu tidak dikenal dalam kontitusi Indonesia.

‘’Padahal tidak begitu. Sebab, mekanisme ‘chek and balances’ itu penting sekali dalam sistem ketatengaraan kita. Okeylah mereka tidak suka pada kata ‘oposisi’, tapi kita pakai sebutan penyimbang saja. Lagi pula adanya penyimbang terhadap praktik kekuasaan itu sunatullah karena kekuasaan itu harus diawasi karena memang selalu dipergilirkan. Kekuasaan yang tidak diawasi atau ada pihak yang mengimbangi maka hanya akan memunculkan kerusakan, bahkan kehancuran dari sebuah tatanan negara,’’ tegas Jimly Asshiddiqie yang juga guru besar FH UI.

sumber : https://algebra.republika.co.id/posts/328191/konstitusi-punya-dna-otoritarianisme-dan-rakyat-terobsesi-paham-satrio-piningit
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement