REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kasus penyakit autoimun pada anak terus mengalami peningkatan di seluruh dunia. Merujuk data National Institute of Health (NIH), perkiraan peningkatan tahunan pada keseluruhan kejadian dan prevalensi penyakit autoimun di seluruh dunia masing-masing adalah 19,1 persen dan 12,5 persen.
Meskipun belum ada data pasti mengenai jumlah anak penderita autoimun di Indonesia, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi Alergi Imunologi IDAI, dr Endah Citraresmi, melihat adanya peningkatan kasus autoimun pada anak. Menurut dia, ada tiga jenis autoimun yang paling sering ditemui pada anak yaitu Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA), Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau disebut juga lupus, dan Henoch-Schonlein Purpura (HSP). Berikut penjelasannya:
1. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA)
Ia menjelaskan bahwa JIA merupakan jenis autoimun yang ditandai dengan kondisi inflamasi kronik pada anak, yang bisa menyebabkan kerusakan tulang rawan, osteoporosis, dan atrofi otot. Sebagian kasus JIA juga dapat berkembang menjadi penyakit sistemik yang melibatkan organ tubuh lainnya.
“JIA ini paling umum pada anak-anak, dengan prevalensi 1 dari 1.000 anak. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, namun rata-rata terjadi pada usia 7 tahun. JIA biasanya timbul bertahap dan bisa bertahan selama berbulan-bulan hingga tahunan,” kata dr Endah dalam diskusi media secara virtual, Selasa (3/9/2024).
Kriteria diagnosis JIA mencakup anak yang berusia kurang dari 16 tahun dengan durasi gejala lebih dari enam minggu. Gejala artritis yang muncul meliputi nyeri, panas pada perabaan, bengkak atau efusi, serta keterbatasan gerak pada sendi.
2. Lupus
Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yang lebih dikenal sebagai lupus, merupakan penyakit autoimun multisistem yang dapat menyerang berbagai organ tubuh. Lupus bisa terjadi pada semua usia, dengan sekitar 10 persen kasus lupus terjadi pada masa kana-kanak, terutama menjelang pubertas.
Dr Endah menjelaskan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dengan perbanding 9:1. Perempuan lebih rentan mengalami lupus karena menghasilkan lebih banyak hormon estrogen.
Lupus juga dikenal sebagai penyakit “1000 wajah” karena gejalanya yang sangat beragam. “Jadi kadang, pasien itu awalnya diperiksa karena sering maag dulu, tapi sudah diobati pun masih tidak sembuh. Ada juga pasien yang awalnya dirujuk ke dokter jantung karena diduga gangguan jantung. Tapi ternyata, setelah diperiksa lebih lanjut mereka itu lupus,” kata Dr Endah.
Gejala yang paling khas dari lupus termasuk ruam malar rash di area pipi dan tulang hidung, discoid rash, serta ulkus mulut. Rambut rontok yang parah juga sering dikaitkan dengan lupus.
“Proses diagnosis lupus sangat rumit, membutuhkan pemeriksaan laboratorium, terutama untuk mendeteksi antibodi spesifik,” kata dr Endah.
3. Henoch Schonlein Purpura (HSP)
HSP adalah bentuk vaskulitis atau radang pembuluh darah yang paling umum pada anak-anak. HSP mempengaruhi pembuluh darah kecil dan biasanya ditandai dengan purpura atau petekie, terutama di tungkai bawah.
Selain itu gejala lain yang bisa muncul meliputi artritis (peradangan pada satu atau lebih sendi), sakit perut difus atau yang terasa menyebar di seluruh perut, serta hasil histopatologi yang menunjukkan adanya peradangan. Ia pun meminta agar orang tua untuk selalu aware dengan tanda-tanda awal yang muncul dan dialami anak.
“Jika anak mulai mengalami gejala seperti nyeri sendi. Nyeri sendi pada HSP biasanya disertai dengan bengkak dan bisa sangat mengganggu aktivitas anak,” kata dr Endah.