REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu ketika, Nabi Muhammad SAW berpesan kepada sahabat-sahabatnya. Pesan beliau secara metaforis, tidak ada makanan yang lebih baik dari apa yang diperoleh dari keringat sendiri. "Nabi Daud tidak pernah makan kecuali dari hasil tangannya sendiri," demikian beliau menyuguhkan contoh.
Para sahabat Nabi mengalami pentingnya kemandirian, terutama sesudah hijrah dari Makkah. Abdurrahman bin Auf, misalnya. Setibanya di Madinah, ia sempat ditawari oleh Sa'ad bin Rabi', seorang Anshar, untuk mengambil separuh dari kekayaannya.
Namun, Abdurrahman bin Auf tidak segera menerima tawaran itu. Alih-alih menerima langsung, ia hanya meminta kepada sang sahabat Anshar agar ditunjuki jalan ke pasar untuk berdagang.
Seorang Mukmin adalah pribadi yang selalu mandiri, bekerja keras, tidak segera menyerah pada keadaan, dan tidak mudah tergantung kepada orang lain. Baginya, sempitnya lapangan kerja bukan penghalang, melainkan pemicu semangat untuk membuka lahan-lahan baru yang lebih menjanjikan.
Dalam jiwanya terpatri firman Allah SWT. "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS ar-Rad: 11).
Untuk membangun kemandirian ini, Rasulullah SAW selalu menegaskan kepada sahabat-sahabatnya bahwa tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (mengemis atau meminta) (HR Bukhari-Muslim).
Pernyataan ini tidak saja Rasulullah SAW sampaikan di atas mimbar, melainkan juga dalam pertemuan secara pribadi dengan sahabat-sahabatnya. Dalam sebuah riwayat, seperti diceritakan Abu Hurairah, Nabi SAW suatu hari menyampaikan kepada sahabat-sahabatnya hakikat kemiskinan dan kekayaan.
Kata beliau, yang disebut miskin bukan mereka yang tidak punya sesuap atau dua suap makanan, tidak punya sebiji atau dua biji kurma, melainkan mereka yang meminta-minta (HR Bukhari-Muslim).
Sedangkan yang disebut kaya, masih kata Rasulullah SAW, bukan mereka yang mempunyai harta yang melimpah, melainkan mereka yang puas atas pemberian Allah sekalipun sedikit (HR Bukhari-Muslim).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, ''Berbahagialah mereka yang masuk Islam. Mereka dikaruniai kemampuan untuk tidak mengemis, dan selalu puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.'' (HR Muslim). Auf bin Malik menceritakan bahwa ia --dengan ditemani beberapa orang-- pernah menemui Rasulullah SAW.
Ketika itu Rasulullah tiba-tiba mengajak mereka berbaiat. Mereka kaget karena merasa pernah melakukan baiat. Namun, karena Rasulullah mengulang ajakannya itu hingga tiga kali, akhirnya mereka mengajukan tangannya untuk baiat.
Yang menarik, setelah baiat untuk bertauhid sekaligus meninggalkan syirik, serta baiat melaksanakan shalat lima waktu, Rasulullah berbisik dengan suara pelan tapi tegas, mengucapkan baiat untuk tidak meminta-minta kepada orang lain. (HR Muslim).
Sikap (baiat) Rasulullah yang demikian itu tidak hanya membangun komitmen agar kita selalu mandiri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Tapi, juga memberi penekanan agar kita sebagai umatnya bersinergi secara maksimal untuk membangun masyarakat yang ber-ta'wun fil birri wat-taqwa, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan; bukan saling menindas dan menzalimi.