REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesaksian berperan amat penting dalam menentukan validitas suatu peristiwa atau fenomena. Seorang saksi menempati kedudukan yang urgen, terlebih dalam kasus yang memerlukan pengadilan. Dalam bahasa Arab, saksi berkenaan dengan syahadah.
Syahadah diambil dari kata musyaahadah yang berarti 'melihat dengan mata.' Sebab, syahid (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya, pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafal: "Aku menyaksikan atau aku telah menyaksikan (asyhadu atau syahidtu).
Kesaksian syahadah berasal dari kata i'laam (pemberitahuan). Misalnya, dalam firman Allah SWT, yang artinya "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia" (QS Ali Imraan: 18).
Di sini, arti kata syahida adalah 'alima (mengetahui). Syahid adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya. Sebab, dia menyaksikan apa yang tidak diketahui orang lain.
Tidak halal bagi seseorang untuk bersaksi kecuali bila dia mengetahui. Pengetahuan itu diperoleh melalui pancaindera, termasuk penglihatan atau pendengaran. Kesaksian perlu dalam kasus yang pada umumnya sulit untuk diketahui kecuali melalui lisan saksi.
Kesaksian itu hukumnya fardhu 'ain bagi orang yang memikulnya bila dia dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang; bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu. Firman Allah SWT, yang artinya, "Janganlah kamu sembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka dia adalah orang yang berdosa hatinya" (QS Al-Baqarah [2]: 283).
Dalam ayat lain, "Dan tegakkanlah kesaksian itu karena Allah" (QS Ath-Thalaq [63]: 2). Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tolonglah saudaramu baik yang berbuat zalim ataupun yang dizalimi."
Penunaian kesaksian adalah termasuk menolongnya. Dari Zaid bin Khalid bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Maukah aku beritahukan kepada saksi yang paling baik? Yaitu yang menyampaikan kesaksiannya sebelum dia diminta untuk itu."
Kesaksian itu hanya wajib ditunaikan apabila saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang menimpanya baik badannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya.
Syarat-syarat menjadi saksi adalah pertama, beragama Islam. Kedua, adil. Sifat keadilan ini merupakan tambahan bagi sifat Islam dan harus dipenuhi oleh para saksiyaitu kebaikan mereka harus mengalahkan keburukannya serta tidak dikenal kebiasaan berdusta dari mereka. Firman Allah Ta'ala: "Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah" (QS Ath-Thalaq [65]: 2).
Ketiga dan empat, baligh dan berakal. Apabila keadilan merupakan syarat diterimanya kesaksian, maka baligh dan berakal adalah syarat di dalam keadilan.
Kelima, berbicara. Apabila dia bisu dan tidak sanggup berbicara, maka kesaksiannya tidak diterima, sekalipun dia dapat mengungkapkan dengan isyarat dan isyaratnya itu dapat difahami. Kecuali, bila dia menuliskan kesaksiannya itu dengan tulisan. Demikianlah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan pendapat yang sah dari madzhab Asy Syafi'i.
Keenam, hafal dan cermat. Tidak diterima kesaksian orang yang buruk hafalannya, banyak lupa, dan salah karena dia kehilangan kepercayaan pada pembicaraannya. Terakhir, bersih dari tuduhan. Tidak diterima kesaksian orang yang dituduh karena percintaan dan permusuhan.