Sabtu 07 Sep 2024 01:45 WIB

Pengamat: Skema Power Wheeling Berisiko Menggerus APBN

Saat ini RUU EBET dibahas kembali dan sudah dalam tahap perumusan.

Petugas melakukan perawatan terhadap panel surya di atap gedung Kantor Pusat Bank Mandiri, Jakarta, Jumat (9/8/2024).  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan investasi subsektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mencapai US$ 1,23 miliar pada tahun 2024. Kementerian ESDM menyampaikan realisasi investasi di sektor EBTKE sepanjang semester I 2024 telah mencapai US$565 juta atau setara 45,86% dari target. Sejumlah jenis EBT seperti energi surya, panas bumi, air, hingga bioenergi termasuk biogas dan biomassa menjadi penopang raihan investasi selama semester pertama tahun ini
Foto: Republika/Prayogi
Petugas melakukan perawatan terhadap panel surya di atap gedung Kantor Pusat Bank Mandiri, Jakarta, Jumat (9/8/2024). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan investasi subsektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mencapai US$ 1,23 miliar pada tahun 2024. Kementerian ESDM menyampaikan realisasi investasi di sektor EBTKE sepanjang semester I 2024 telah mencapai US$565 juta atau setara 45,86% dari target. Sejumlah jenis EBT seperti energi surya, panas bumi, air, hingga bioenergi termasuk biogas dan biomassa menjadi penopang raihan investasi selama semester pertama tahun ini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran pasal power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) masih menimbulkan pro dan kobtra. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi meminta pasal tersebut dihapus karena dapat mengurangi pendapatan negara, dan menggerus APBN.

“Mengizinkan Independent Power Plant (IPP) menjual listrik secara langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Jumat (6/9/2024).

Baca Juga

Menurutnya, power wheeling justru akan menggerus pendapatan negara karena 90 persen penjualan listrik berasal dari pelanggan industri. Selain itu, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent dipengaruhi matahari dan angin.

Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Jika tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, mau tidak mau negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi dari biaya operasional ketenagalistrikan.

Pembahasan RUU EBET yang sempat tertunda, kembali dibahas di Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Salah satu penyebab penundaaan pembahasan RUU EBET itu adalah adanya perbedaan pendapat antar pihak terkait pasal power wheeling (sewa jaringan). 

Bahkan pasal tersebut sudah didrop pada awal 2023, namun dimunculkan lagi tiga bulan berikutnya. Saat ini RUU EBET dibahas kembali dan sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi.

Power wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau IPP untuk membangun pembangkit listrik EBET sekaligus menjual secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement