Sabtu 07 Sep 2024 12:18 WIB

Nurul Ghufron Dinilai Layak Dipidanakan Setelah Terima Sanksi Etik di KPK

Ghufron baru saja terbukti bersalah melakukan pelanggar etik.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Israr Itah
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengikuti sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Majelis Etik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menjatuhkan sanksi etik sedang berupa teguran tertulis kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait penyalahgunaan pengaruh atau jabatan di balik mutasi ASN Kementerian Pertanian (Kementan). Dalam putusannya, Dewas KPK menilai Ghufron mempergunakan pengaruhnya sebagai Pimpinan KPK. Selain itu mejelis juga memutuskan untuk memotong gaji Nurul Ghufron sebesar 20 persen selama enam bulan.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengikuti sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (21/5/2024). Majelis Etik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menjatuhkan sanksi etik sedang berupa teguran tertulis kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait penyalahgunaan pengaruh atau jabatan di balik mutasi ASN Kementerian Pertanian (Kementan). Dalam putusannya, Dewas KPK menilai Ghufron mempergunakan pengaruhnya sebagai Pimpinan KPK. Selain itu mejelis juga memutuskan untuk memotong gaji Nurul Ghufron sebesar 20 persen selama enam bulan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para mantan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute menilai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron pantas dipidanakan. Alasannya, Ghufron baru saja terbukti bersalah melakukan pelanggar etik.

Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha meyakini kasus etik yang menjerat Ghufron layak dikembangkan ke arah pidana. Putusan etik ini mengungkap fakta-fakta penting termasuk tindakan Nurul Ghufron menghubungi pejabat Kementan pada saat KPK menangani kasus mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Baca Juga

Ghufron terbukti bersalah memakai pengaruh sebagai Wakil Ketua KPK guna kepentingan pribadi berupa membantu mutasi ASN di Kementerian Pertanian berinisial ADM dari Jakarta ke Malang. Saat itu, Ghufron mengontak mantan Sekjen Kementan Kasdi Subagyo supaya proses pemindahan ADM dipercepat.

Padahal pada saat yang sama, Kasdi merupakan terdakwa dalam perkara pemerasan yang dijerat bersama SYL. Kasus itu diusut oleh KPK.

"Hubungan yang terjadi dengan pihak berperkara pada proses penyidikan sesuai Pasal 36 junto Pasal 65 UU KPK. Artinya putusan etik ini menjadi bukti permulaan proses penyelidikan yang harus dilakukan," kata Praswad dalam keterangannya, Sabtu (6/9/2024).

Praswad mendorong aparat penegak hukum tidak mendiamkan potensi pelanggaran pidana yang dilakukan Ghufron.

"KPK, Kepolisian dan bahkan Kejaksaan Agung harus segera memulai proses penyelidikan dan penyidikan pada kasus ini," ujar Praswad.

Atas dasar itulah, Praswad meyakini Ghufron layak dicoret dari seleksi calon pimpinan KPK periode 2024–2029. Sebab Ghufron berpeluang diselidiki dalam perkara pidana.

"Dan jika proses penegakan hukum dimulai, maka Nurul Ghufron akan tersandera dengan potensi pidana, sehingga menjadi mustahil bagi dirinya memimpin KPK dengan independen di masa yang akan datang," ujar Praswad.

Sebelumnya, Nurul Ghufron terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Ghufron dijatuhi sanksi sedang berupa teguran tertulis dan pemotongan gaji 20 persen selama enam bulan oleh Dewas KPK.

Ghufron dinilai terbukti menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement