REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rabithah Alawiyah menghadirkan pakar biomedis yakni Dr dr Zen Hafy Shahb dalam diskusi Keabsahan Nasab Ba’alawi yang digelar di gedung Rabithah Alawiyah, Jakarta, Sabtu-Ahad (7-8/9/2024). Salah satu poin diskusi untuk mengulas nasab Ba’alawi tersebut untuk menjawab tantangan tes DNA dari KH Imaduddin dan kawan-kawan untuk membuktikan apakah nasab Ba’alawi memiliki ketersambungan dengan keturunan Rasulullah SAW.
Zen mengatakan, baik DNA inti maupun Y Kromosom yang ada dalam tubuh manusia bisa digunakan untuk melacak nasab seseorang yang eksklusif. Jika kromosom Y untuk melacak keturunan jalur laki-laki saja, maka mitokondria untuk jalur ibu.
BACA JUGA: Long Weekend Pekan Ini, Maulid Nabi Muhammad 2024 Jatuh Tanggal Berapa? Ini Jadwalnya
Zen menjelaskan, setiap manusia memiliki 46 kromosom yang berpasangan menjadi 23 pasang. Setiap manusia yang baru lahir setelah terjadi pembuahan, maka akan mendapatkan satu pasang dari ibu dan satu pasang dari ayah. Pasangan kromosom tersebut pun bertukar informasi.
“Tetapi kadang-kadang mereka bertukar informasi. Dari ibu di kiri dan bapak di kanan. Ternyata ada saling bertukaran antara sepasang ini sehingga timbul pola mozaik. Oleh karena itu, jalur ini sangat sulit dipakai kalau untuk melacak DNA jauh karena keturunan akan bercampur terus,”kata dia.
Menurut Zen, pelacakan nasab lewat tes DNA kemungkinan bisa dilakukan untuk rentang satu hingga tiga generasi. Hanya saja, untuk jalur nasab yang jauh maka akan semakin terdelusi. “Karena pertama masih 50-50, kedua 25-25. Makin ke bawah makin berkurang,”kata dia.
Sementara itu, Sayyid Muhammad Assegaf, anggota tim peneliti Rabithah Alawiyah mengkritisi mengenai kemungkinan, apakah bisa menentukan nasab jauh dengan tes DNA. Hal tersebut diawali dengan pengelompokan haplogrup yakni sekelompok kromosom tunggal, atau untaian DNA tunggal, yang memiliki nenek moyang yang sama.
Dia menjelaskan, adanya J1 sebagai haplogrup Ibrahimi merupakan hasil dari manipulasi interpretasi hasil studi statistik terhadap Yahudi Kohanim oleh beberapa orang yang memiliki agenda tertentu. Dia mengatakan, masyarakat Yahudi memiliki keyakinan jika ibunya Yahudi maka otomatis Yahudi, hanya berbeda dengan Yahudi Kohen dan Levy. Mereka menganut sistem patrilineal dan matrilienal. "Mereka ayahnya harus Kohen atau Levy. Ibunya juga harus Kohen dan Levy. Mereka melarang menikah dengan orang-orang yang convert (berpindah). Logikanya secara nasab itu tertata,"ujar dia.
Menurut Assegaf, studi statistik tersebut diawali oleh dr Karel Skorecky yang dipublikasikan di British Science Journal, Nature pada 1997. Studi tersebut melibatkan 188 pria Yahudi Israel, Inggris dan Amerika Utara. Hanya saja, ujar dia, studi ini tidak melibatkan ahli dari beragam studi ilmu seperti geneologi, antropologi, filologi dan sejarah untuk memverifikasi apakah sampel tersebut benar nasabnya valid hingga Nabi Ibrahim As.
“Cuma studi statistik dalam Karel Skorecky. Doktor ini tidak melibatkan ahli filologi untuk memverifikasi apakah sampel benar dan valid hingga ke Nabi Ibrahim As,”ujar dia.
Data dari hasil studi ini pun berasal dari para sukarelawan yang mendeklarasikan diri apakah mereka bagian dari Cohen, Levy atau Israel. Hasilnya hanya 48 persen Ashkenazi Kohen dan 58 persen Sephardic Kohen ada di haplogrup J1 JP58 (CMH1). Sementara itu, ujar dia, ada 5 Persen dari Yahudi tidak percaya menjadi Kohanim.
Sementara itu, Prof M Hammer melanjutkan studi Skorecky yang dimuat dalam penelitian berjudul 'Extended Y Chromosome haptotypes resolve multiple and Unique lineages of the Jeweish Priesthood (2009)'. Hammer melanjutkan studi sebelumnya dengan menggunakan 1.575 sampel. Hasilnya, ujar Assegaf, terdapat 46,1 persen yang berada pada haplogrup J1. Sementara itu, ada 21 haplogrup kromosom Y yang berada di luar J1.
Tantangan Kiai Imaduddin..