Senin 09 Sep 2024 18:29 WIB

Warga Bali Pelihara Landak Jawa Jadi Terdakwa, Ini Alasan Kejagung Tetap Lanjutkan Perkara

Kejagung mengaku tak bisa menerapkan restorative justice di kasus Nyoman Sukena.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Agung Harli Siregar.
Foto: Antara/Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspe
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Agung Harli Siregar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak bisa menerapkan restorative justice (RJ) terkait kasus Landak Jawa yang menyeret Nyoman Sukena ke kursi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Harli Siregar mengatakan, kasus terkait dengan pemeliharaan satwa dilindungi tersebut, tak menjadikan orang lain sebagai korban.

Menurut Harli, kasus tersebut menjadikan negara sebagai korban. Dan dalam salah-satu persyaratan penerapan RJ, mengharuskan adanya korban dari pihak lain, atau perorangan.

Baca Juga

“Tidak diterapkan RJ karena tidak memenuhi persyaratan dilakukannya RJ. Misalnya, dalam perkara ini tidak ada korban (perorangan). Jadi negara adalah korbannya,” begitu kata Harli kepada Republika, di Jakarta, Senin (9/9/2024).

Harli mengatakan, kasus yang menyeret Nyoman Sukena tersebut terkait dengan memelihara Landak Jawa. Binatang tersebut, termasuk dalam satwa yang dilindungi menurut Undang-undang (UU) 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, dan Ekosistemnya. Kata Harli, dari pendakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terungkap, Nyoman Sukena memelihara Landak Jawa dengan tujuan penangkaran, dan pengembangbiakan.