REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan penggunaan biomassa 2,2 juta ton per tahun. Biomassa tersebut digunakan PLN lewat co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Co-firing merupakan teknologi yang memanfaatkan bahan biomassa sebagai pengganti batu bara pada rasio tertentu. "Jadi ini artinya gerakan untuk menurunkan emisi," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), dalam konferensi pers di kantornya, Senin (9/9/2024).
Pemerintah, kata dia, serius mendorong hal ini. Dirjen EBTKE mengaku telah berbicara dengan Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo. Sudah ada kesepakatan mengenai penggunaan co-firing di PLTU itu.
Sebelumnya, dalam keterangan resmi PLN, Subholding PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) pada 2024 akan memasok 2,2 juta ton kebutuhan biomassa di 47 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PLN Grup. Volume ini naik 220 persen dibandingkan realisasi tahun 2023 sebesar 1 juta ton.
Sekretaris Perusahaan PLN EPI Mamit Setiawan mengatakan kebutuhan biomassa dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebab, penggunaan biomassa ini mampu mereduksi emisi di PLTU, dan mengurangi porsi penggunaan energi fosil.
"Pada tahun ini kami akan memasok biomassa di 47 PLTU milik PLN Grup. Total kebutuhannya mencapai 2,2 juta ton. Ini naik signifikan dibandingkan realisasi tahun 2023," kata Mamit, lewat siaran pers, beberapa waktu lalu.
Menurut Mamit, sebab penggunaan biomassa tak akan mengerek biaya pokok produksi pembangkit. Harga biomassa yang terjangkau bahkan berbanding 1:1 dengan batu bara membuat biomassa sangat ekonomis digunakan.
"Saat ini batu bara 5-6 sen dolar AS (sekitar Rp 7.795-Rp 9.354) per kilo Watt hour (kWh). Biomassa juga setara dengan itu. Jika dibandingkan dengan EBT lain, biomassa ini yang paling murah," tegas Mamit.
Reduksi emisi dari penggunaan biomassa ditahun ini ditargetkan bisa mencapai 2,4 juta ton CO2. Meningkat dibandingkan realisasi penurunan emisi pada tahun 2023 sebesar 1,05 juta ton CO2.