Selasa 10 Sep 2024 07:57 WIB

Ketika Ulama Menyuruh Sultan Harun al-Rasyid

Sang raja Dinasti Abbasiyah terkejut atas tindakan ulama ahli hadis ini.

Ilustrasi ulama
Foto: Mgrol120
Ilustrasi ulama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan santri mana yang tak kenal Al-Muwatta, kitab kumpulan hadis dan fatwa yang tersohor itu? Karya monumental Malik bin Anas atau yang lebih dikenal dengan gelar Imam Malik ini begitu luar biasa. Bahkan, seorang khalifah saja rela duduk bersama di tengah-tengah rakyat jelata hanya demi mendengarkan pengajian kitab tersebut dari sang penulisnya langsung.

Khalifah yang dimaksud adalah Harun Al-Rasyid. Awalnya, ia tak menyangka Imam Malik menolak undangannya untuk berceramah di Istana tentang Al-Muwatta. Undangan kepada sang Imam memang tak ditolak. Akan tetapi, begitu sang imam hadir di halaman istana, ia menolak berceramah.

Baca Juga

Ini tentu saja mengejutkan Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebab, setiap kali mengundang ulama lain berceramah di istana, tak ada yang menolak. Semua selalu menerima.

Imam Malik pun berkata, "Wahai Rasyid! Hadis adalah pelajaran yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi leluhur Anda. Kalau Anda tidak menghormatinya, maka orang lain pun juga demikian. Manusialah yang mencari ilmu, bukan ilmu yang mencari manusia."

Sang alim memanggil penguasa Abbasiyah itu dengan nama Rasyid, tanpa gelar 'sultan' atau 'khalifah.'

Perkataan ini begitu menyentak Sultan Harun al-Rasyid, apalagi dirinya adalah seorang pemimpin yang cinta akan ilmu pengetahuan.

Kata-kata sang Imam mengingatkan arti ketinggian ilmu, sehingga ia pun bersedia mendatangi majelis sang Imam bersama-sama kedua putranya. Kendati demikian, tabiat penguasanya tetap menghendaki dirinya belajar tanpa harus berdampingan dengan rakyat jelata.

Imam Malik jelas menolaknya, "Saya tak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi saja."

Sultan Harun pun mengalah. Sejarah pun mencatat, seorang penguasa negeri harus tunduk patuh pada seorang ulama. Sebab, ia memang membutuhkan ilmu yang dimiliki sang ulama.

Kisah di atas menunjukkan, betapa tinggi kedudukan ahli ilmu atau ulama dalam Islam. Allah SWT dalam Alquran surah az-Zumar berfirman. Artinya, “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui daripada orang-orang yang tidak mengetahui?’”

Dalam surah an-Nahl ayat 43, Allah menegaskan, artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Ya, ulama adalah tempat bertanya. Kepadanya, umat meminta nasihat dan pencerahan.

Seorang alim menjadi mulia dengan ilmunya. Karena itu, hendaknya ilmu dicari dan diamalkan dengan tujuan yang tertinggi, yakni mengharap ridha Allah Ta’ala. Bukan sanjungan manusia.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah, atau bukan dalam rangka mengharapkan wajah Allah, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduk di dalam api neraka.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement