Selasa 10 Sep 2024 22:50 WIB

Australia Desak Israel Terima Kesepakatan Gencatan Senjata DK PBB

Upaya untuk menetapkan gencatan senjata di Gaza sejauh ini gagal.

Truk bantuan kemanusiaan menunggu untuk melintasi perbatasan Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza, di Rafah, Mesir, Senin (9/9/2024). Bantuan untuk warga Pelestina tertahan di perbatasan Rafah di sisi Mesir, menunggu untuk memasuki Jalur Gaza
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Truk bantuan kemanusiaan menunggu untuk melintasi perbatasan Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza, di Rafah, Mesir, Senin (9/9/2024). Bantuan untuk warga Pelestina tertahan di perbatasan Rafah di sisi Mesir, menunggu untuk memasuki Jalur Gaza

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Australia mendesak Israel untuk menerima kesepakatan gencatan senjata yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB di kawasan Gaza yang terkepung.

“Gencatan senjata sangat dibutuhkan Gaza saat ini,” kata Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong di X.

Baca Juga

Jumlah korban jiwa Palestina di Gaza telah mencapai hampir 41 ribu orang sejak 7 Oktober tahun lalu. Wong menyatakan telah berbicara dengan rekan sejawatnya dari Israel, Israel Katz pada Senin malam.

Ia menegaskan pandangan Australia bahwa para pihak harus menyetujui kesepakatan yang didukung oleh DK PBB untuk melindungi warga sipil, membebaskan sandera, memfasilitasi bantuan lebih lanjut, dan mencegah eskalasi regional.

Serbuan Israel ke Gaza, menyusul serangan lintas batas kelompok Palestina Hamas, mendekati usia satu tahun dengan Tel Aviv terus mengebom secara sembarangan wilayah kantong pesisir jalur Gaza itu. Namun, upaya untuk menetapkan gencatan senjata di Gaza sejauh ini gagal.

Diplomat senior Australia itu mengatakan dalam percakapan teleponnya dengan rekan-rekannya dari Arab Saudi dan Yordania pekan lalu menyepakati gencatan senjata di Gaza adalah kunci melindungi warga sipil, mengamankan pembebasan sandera, dan mengurangi ketegangan di seluruh wilayah.

“Australia akan terus bekerja sama dengan negara-negara berpengaruh untuk mendesak perdamaian,” kata Wong.

Dia juga menyampaikan kekhawatiran mendalam Australia mengenai eskalasi kekerasan di Tepi Barat yang diduduki, serta tindakan provokatif para menteri ekstrem kanan Israel.

“Kegiatan pemukiman ilegal yang berlangsung terus-menerus dan kekerasan para pemukim, merusak prospek perdamaian yang adil dan langgeng,” ujarnya kepada Katz.

Wong juga mengingatkan bahwa Canberra telah memberlakukan sanksi terhadap ekstremis Israel dan “akan menolak visa bagi siapa pun yang diidentifikasi sebagai pemukim ekstremis untuk bepergian ke Australia.”

Dia menegaskan, "Solusi dua negara tetap menjadi satu-satunya cara untuk mencapai keamanan dan kemakmuran jangka panjang bagi warga Israel dan Palestina."

Menurut Komisi Kolonisasi dan Perlawanan Tembok Pemerintah Palestina, sejak 7 Oktober 2023, pemukim ilegal Israel telah membunuh 19 warga Palestina, melukai lebih dari 785 orang, dan membuat 28 komunitas Badui Palestina berada dalam pengungsian.

Pada Mei 2023, kelompok hak asasi manusia Israel B’Tselem mengungkapkan rencana pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengusir penggembala dan warga sipil Palestina dari tanah mereka di Tepi Barat yang diduduki, yang dijelaskan sebagai bagian dari "sistem apartheid Israel."

Menurut perkiraan Israel, lebih dari 720.000 pemukim tinggal di pemukiman ilegal di seluruh Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Pemukiman Israel dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement