REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Imam Bukhari memang tak lagi asing dalam studi Islam. Dia merupakan pengarang kitab hadis fenomenal yaitu Al-Jami’ as-Shahih atau yang biasa disebut Shahih Bukhari. Dalam penyusunan kitabnya tersebut, ulama dari Asia tengah ini mempraktikkan kaidah penelitian ilmiah yang bahkan terbilang rigid untuk ukuran zaman modern kini. Dengan demikian, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Arief Hidayat dalam Al-Islam: Studi Hadis Tarbawi, Imam Bukhari merupakan ulama independen yang berotoritas keilmuan terkemuka, sehingga dihormati lintas kalangan. Penyusunan Shahih Bukhari dilakukannya secara amat hati-hati.
Seperti dikenang salah seorang muridnya, al-Firbari, Imam Bukhari suatu ketika menceritakan ihwal mula-mula penulisan karya fenomenalnya itu, “Saya menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjid al-Haram, Makkah. Dan saya tidak mencantumkan sebuah hadis pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat, memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadis itu benar-benar sahih.”
Kemudian, masih di Tanah Suci, Imam Bukhari mulai menulis mukadimah dan pokok-pokok bahasan Shahih Bukhari ketika ia berada di Raudatul Jannah, yakni tempat antara makam Rasulullah SAW dan mimbar Masjid Nabawi.
Barulah sesudah itu, sang alim menghimpun sejumlah hadis dan menempatkannya ke dalam bab-bab yang sesuai. Selama 16 tahun, Imam Bukhari menghabiskan waktunya dengan tekun menyusun Shahih di Hijaz.
Imam Bukhari menyelidiki kredibilitas para perawi agar dapat memastikan kesahihan hadis-hadis yang dihimpunnya. Tidak cukup itu, ulama ini juga selalu membandingkan suatu hadis dengan hadis lainnya. Ia menggunakan tingkat verifikasi tertinggi dan tidak menurunkan standarnya dari itu, kecuali pada beberapa hadis yang bukan materi pokok dari bab Shahih Bukhari.
Pada umumnya, ulama-ulama hadis mengutamakan pertanggungjawaban ilmiah dalam menghimpun hadis-hadis, meskipun status hadis-hadis itu sendiri dapat ditentukan secara kualitatif.
Ensiklopedi Islam 1 menyarikan, ada delapan metode untuk memperoleh hadis, yakni as-sima’ (murid menyimak hadis dari guru), al-‘ardh (murid membacakan hadis di hadapan guru), al-ijazah (guru mengizinkan murid mengajarkan hadis), al-munawalah (guru menyerahkan catatan hadis kepada murid untuk diriwayatkan), dan al-mukatabah (surat-menyurat antara guru dan murid tentang suatu hadis).
Selain itu, ada pula ‘illam asy-syaikh (pemberitahuan guru kepada murid), al-washiyyah (wasiat guru kepada murid tentang catatan hadis untuk diriwayatkan), dan al-wijadah (penemuan catatan hadis dari orang yang sezaman dengannya).
Setiap ulama penghimpun hadis pasti terlebih dahulu menentukan acuan atau kriteria yang digunakan untuk menentukan status hadis yang akan dimasukkan ke dalam kitabnya.