REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan perlu untuk mengantisipasi potensi kredit macet dari peningkatan penggunaan layanan beli sekarang bayar nanti atau buy now pay later (BNPL) di tengah daya beli masyarakat yang menurun.
"Kondisi ini akan mengancam lembaga keuangan jika banyak terjadi non performing loan (kredit macet)," kata Esther di Jakarta, Rabu (11/9/2024).
Ia menuturkan jika kredit macet bertambah, maka kinerja dan likuiditas lembaga jasa keuangan dapat terganggu.
"Tentunya potensi kredit macet pasti ada, ini berpeluang mengganggu likuiditas lembaga keuangan," ujarnya.
Menurut dia, peningkatan penggunaan layanan paylater oleh masyarakat saat ini menandakan bahwa daya beli masyarakat menurun karena kecepatan kenaikan inflasi tidak sebanding dengan kenaikan upah.
"Artinya kenaikan harga tidak diikuti kenaikan upah sehingga masyarakat yang memang harus beli barang tapi tidak mampu makanya solusinya paylater," tuturnya.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan outstanding pembiayaan untuk transaksi beli sekarang bayar nanti atau buy now pay later (BNPL) oleh perusahaan pembiayaan (PP) per Juli 2024 tumbuh 73,55 persen secara year on year (yoy) menjadi Rp 7,81 triliun.
“Angka ini lebih rendah dari paylater pada perbankan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman di Jakarta, Sabtu (7/9/2024).
Sementara porsi produk kredit BNPL perbankan sebesar 0,24 persen, namun terus mencatatkan pertumbuhan yang tinggi.
Per Juli 2024 baki debet kredit BNPL tumbuh 36,66 persen yoy menjadi Rp 18,01 triliun, dengan total jumlah rekening 17,90 juta. Risiko kredit untuk BNPL perbankan turun ke level 2,24 persen.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan pada Juli 2024 kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio non-performing loan (NPL) gross perbankan yang relatif stabil di level 2,27 persen dan NPL neto sebesar 0,79 persen.
Loan at Risk (LaR) juga menunjukkan tren penurunan menjadi sebesar 10,27 persen. Rasio LaR tersebut juga mendekati level sebelum pandemi, yakni sebesar 9,93 persen pada Desember 2019.