REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kelompok perjuangan Palestina, Hamas, pada Rabu (11/9) menyatakan siap melaksanakan gencatan senjata segera di Jalur Gaza berdasarkan rencana yang diajukan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden awal tahun ini.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah pertemuan antara tim perunding Hamas, di ibu kota Qatar, Doha, Hamas menegaskan kembali penolakannya terhadap setiap “syarat baru” yang ditambahkan ke dalam kesepakatan tersebut. Pertemuan di Doha itu diikuti kepala juru runding Hamas Khalil al-Hayya, Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, serta kepala badan intelijen Mesir Abbas Kamel.
Biden pada Mei mengatakan Israel telah mengajukan kesepakatan tiga tahap untuk mengakhiri kekerasan di Gaza dan memastikan sandera yang ditahan di wilayah pesisir itu bisa dibebaskan. Rencana kesepakatan tersebut mencakup gencatan senjata, pertukaran sandera-tahanan, serta rekonstruksi Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersikeras untuk mempertahankan keberadaan militernya di sepanjang Koridor Philadelphi, dengan alasan bahwa itu adalah “jalur kehidupan” bagi Hamas untuk kembali mempersenjatai diri.
Koridor tersebut, yang merupakan kawasan demiliterisasi di sepanjang perbatasan Mesir dengan Gaza, telah menjadi titik penting dalam negosiasi antara Israel dan Hamas.
Selama berbulan-bulan, AS, Qatar, dan Mesir berusaha mencapai kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk memastikan pertukaran tahanan dan gencatan senjata serta memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Namun, upaya mediasi tersebut terhenti karena Netanyahu menolak memenuhi tuntutan Hamas untuk menghentikan perang.
Israel terus melancarkan serangan brutal di Gaza sejak serangan awal pada Oktober tahun lalu meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata secepatnya.
Sudah hampir 41.100 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak, yang tewas dan lebih dari 95.000 orang terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh populasi wilayah tersebut mengungsi di tengah blokade, yang sedang berlangsung serta menyebabkan kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel di Mahkamah Internasional menghadapi tuduhan genosida atas tindakannya di Gaza.