REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mesir pada Rabu (11/9) mengatakan bahwa perundingan gencatan senjata untuk Jalur Gaza di Ibu Kota Qatar, Doha, telah berakhir dan berlangsung serius, memberikan harapan akan berakhirnya perang yang telah berlangsung selama berbulan-bulan di daerah kantong tersebut.
Menurut sumber pejabat tinggi yang dikutip oleh Cairo News Channel, perundingan itu berakhir dengan partisipasi Kepala Intelijen Mesir Abbas Kamel, Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani dan delegasi Hamas yang dipimpin Khalil al-Hayya.
Pembicaraan tersebut digambarkan sebagai "serius dan berpotensi memberikan harapan untuk menyelesaikan krisis," tambah sumber itu, meskipun tidak ada rincian lebih lanjut yang diberikan.
Selama berbulan-bulan, Amerika Serikat (AS), Qatar, dan Mesir telah berupaya mencapai kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk memastikan pertukaran tahanan dan gencatan senjata serta memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Namun, upaya mediasi terhenti karena Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak memenuhi tuntutan Hamas untuk menghentikan perang.
Israel terus melakukan serangan brutal di Gaza sejak serangan awal Oktober tahun lalu, meskipun resolusi Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata segera.
Hampir 41.100 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah tewas dan lebih dari 95.000 terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh penduduk wilayah itu mengungsi, di tengah blokade yang terus berlangsung dan menyebabkan kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Sementara itu, Israel menghadapi tudingan genosida dari Mahkamah Internasional atas aksinya di Gaza.
Sebelumnya, Kementerian luar negeri (Kemenlu) Arab Saudi mengutuk penargetan zona aman di Gaza dalam sebuah pernyataannya di X pada Selasa (10/9/2024). Pasukan Israel menargetkan warga sipil tak bersenjata dalam serangkaian serangan dini hari itu, yang menewaskan 40 orang.
Serangan itu menghantam Al-Mawasi — di kota utama selatan Gaza, Khan Yunis — yang ditetapkan sebagai zona aman oleh militer Israel pada awal perang, dengan puluhan ribu warga Palestina yang mengungsi mencari perlindungan di sana.
“Masyarakat internasional harus mengaktifkan mekanisme akuntabilitas dan mengakhiri pelanggaran Israel," kata Kemenlu Saudi dilansir dari Arabnews, Rabu (11/9/2024).
Kemenlu Saudi mengatakan, Kerajaan Saudi memperbarui penolakannya terhadap kelanjutan kejahatan genosida Israel di wilayah Palestina dan Gaza.