REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Singapura untuk Indonesia Kwok Fook Seng menekankan pentingnya pelaporan environmental, social, and governance (ESG) dalam lanskap bisnis global. Dia mengatakan, pelaporan ESG merupakan alat penting bagi perusahaan yang ingin menarik investasi dan menunjukkan komitmennya terhadap praktik-praktik berkelanjutan.
Hal tersebut disampakan Kwok saat menghadiri kegiatan ESG Summit yang digelar Republika di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (12/9/2024). "Pelaporan ESG adalah instrumen penting bagi perusahaan saat ini," kata Kwok.
Ia mengatakan di beberapa yurisdiksi, pelaporan ESG masih bersifat sukarela dan belum menjadi persyaratan hukum. Kwok menceritakan ketika ia pertama kali berbicara tentang pelaporan ESG di Bursa Efek Singapura (SGX), pelaporan tersebut masih bersifat sukarela. Namun, pada tahun 2016, hal ini menjadi fitur wajib bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar.
"Investor ingin tahu apakah perusahaan Anda memahami risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, nilai keberlanjutan, dan bagaimana hal itu berdampak pada keuntungan Anda," jelasnya.
Kwok menyoroti tren yang tidak dapat diubah menuju praktik-praktik berkelanjutan dalam bisnis, yang didorong oleh peraturan yang bersifat top-down maupun tuntutan dari para konsumen. Ia memberikan contoh perusahaan-perusahaan di Indonesia yang beradaptasi dengan norma-norma baru ini, seperti perusahaan cepat saji yang menghentikan penggunaan sedotan plastik karena permintaan pelanggan.
"Anda tidak bisa menghindari keinginan konsumen," kata Kwok.
Ia juga menekankan pentingnya menyelaraskan praktik bisnis dengan harapan konsumen dan investor. Sebuah perusahaan harus mengadopsi standar ESG agar tetap kompetitif. "Baik Anda sebagai pelanggan atau investor, keduanya merupakan dua hal penting bagi perusahaan. Itulah mengapa mereka melakukannya," tambah Kwok.
Kwok menyerukan pendekatan yang terukur dan terarah dalam menerapkan standar pelaporan ESG, yang disesuaikan dengan konteks lokal. Ia memperingatkan agar Indonesia tidak memberlakukan peraturan yang terlalu kaku yang dapat menghambat operasi bisnis.
"Jika Anda melakukannya terlalu keras atau ketat, bisnis tidak akan bertahan. Itu lebih buruk lagi," katanya.
Ia turut menekankan perlunya pelaporan yang terstandardisasi untuk memastikan keterbandingan dan transparansi. Kwok juga mengaitkan pelaporan ESG dengan upaya nasional dan internasional yang lebih luas, seperti target penurunan emisi nasional (NDC) di bawah Perjanjian Paris dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Kwok kembali menegaskan bahwa diperlukan upaya berkelanjutan untuk mengurangi emisi dan memitigasi perubahan iklim. "Bahkan jika kita berhasil mencapai target, kita harus terus maju."
Kwok mendorong kolaborasi dan pembangunan ketahanan di antara para pemangku kepentingan untuk mengembangkan metode yang kuat untuk pelaporan dan tindakan keberlanjutan. Ia memuji kemitraan seperti yang terjalin antara BUMN Indonesia dengan para pemangku kepentingan untuk menyebarkan praktik-praktik yang baik dan menciptakan ekosistem yang berkelanjutan.
"Pemerintah dan regulator berperan penting dalam memastikan bahwa standar-standar ESG sesuai dengan tujuan dan tidak terlalu membebani bisnis," katanya.
"Kemudahan berbisnis masih penting bagi pertumbuhan ekonomi. Namun pada saat yang sama, Anda harus memiliki standar integritas."