REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Mendengar nama Cut Nyak Dhien, orang tentu langsung berpikir tentang pahlawan nasional kelahiran 1848 yang merupakan srikandi tangguh asal Aceh. Anggapan itu tidak salah karena kedua orang tuanya merupakan suku Aceh. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa di dalam nadi istri Teuku Umar tersebut juga mengalir darah Minangkabau.
Darah Minangkabau diwariskan oleh buyut Cut Nyak Dhien bernama Makoedum Sati. Hal itu dapat dijumpai pada silsilah keluarga Cut Nyak Dhien yang terpajang di Rumoh Tjut Nja' Dhien di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Juru Pelihara Rumoh Tjut Nja' Dhien atau Museum Cut Nyak Dhien, Asiah (54 tahun), menyatakan dalam silsilah keturunan Cut Nyak Dhien memang tidak diketahui pasti sosok Makoedum Sati.
Namun, buyut Cut Nyak Dhien tersebut diketahui perempuan yang berasal dari Pagaruyuang, Kota Batusangkar, Provinsi Sumatera Barat. Makoedum Sati dulunya diketahui pergi menimba ilmu pengetahuan ke Tanah Aceh, tepatnya di pondok pesantren sekaligus untuk merantau.
Tak hanya memperoleh ilmu agama, hati perempuan Minangkabau tersebut tersangkut dengan sosok lelaki Aceh hingga bermuara ke pelaminan. Sayangnya, tak satu pun dari ahli waris Cut Nyak Dhien yang mengetahui siapa laki-laki yang menikah dengan Makoedum Sati. Dari hasil perkawinan Makoedum Sati dengan laki-laki Aceh tersebut lahirlah anak laki-laki yang diberi nama Panglima Nanta Chik Setia Raja. Kemudian, Panglima Nanta Chik Setia Raja menikahi perempuan Aceh yang bernama Anak Bangsawan Teuku Nek Meuraxa.
Dari pernikahan Panglima Nanta Chik Setia Raja dengan Anak Bangsawan Teuku Nek Meuraxa lahirlah dua anak yang diberi nama Teuku Nanta Muda Setia dan Teuku Cut Mahmud.
Teuku Nanta Muda Setia merupakan ayah kandung dari Cut Nyak Dhien, sementara Teuku Cut Mahmud merupakan ayah kandung Teuku Umar. Ibu Cut Nyak Dhien ialah Putri Bangsawan Lampageu. Cut Nyak Dhien sendiri diketahui memiliki saudara laki-laki yang bernama Teuku Rayeuk.
Sebelum menikah dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Setelah suami pertamanya meninggal, Cut Nyak Dhien kembali menikah dengan Teuku Umar yang merupakan sepupunya sendiri.
"Dari pernikahan Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar, lahir seorang anak perempuan bernama Cut Gambang," kata Asiah.
Anak semata wayang Cut Nyak Dhien tersebut menikah dengan Teuku Mayet Di Tiro yang merupakan anak dari pahlawan nasional Teuku Cik Di Tiro.
Sementara itu, Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Provinsi Aceh, Hasbullah, memiliki pendapat berbeda tentang sosok Makoedum Sati. Meskipun sama-sama menyakini berasal dari Minangkabau, Hasbullah menyatakan Makoedum Sati adalah seorang laki-laki, bukan perempuan.
Berdasarkan literasi yang disampaikan Hasbullah, Makoedum Sati datang ke Aceh diperkirakan pada abad 18 ketika kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Alam Barul Munir (1711-1733 M). Perjalanan Makoedum Sati ke Aceh diawali dengan sebuah kabar bahwasanya terdapat sumber emas di ujung Pulau Sumatera. Setelah mendapat berita itu, Makoedum bersama 12 perahu berlayar ke Tanah Rencong dan mendarat di Pantai Tanah Aceh bernama Pasir Karam.
Ketika rombongan Makoedum Sati tiba di Aceh, ia mendapati pasukan Aceh sedang berperang melawan pasukan Mantir yang kala itu belum memeluk agama Islam. Pada peperangan itu pasukan tentara Aceh kalah jumlah.
Situasi itu dimanfaatkan Makoedum Sati dan membantu tentara Aceh dalam melawan pasukan Mantir. Alhasil, mereka dapat mengalahkannya. Atas bantuan tersebut, pasukan Aceh menghadiahi Makoedum Sati tanah yang awalnya ditempati pasukan Mantir.
Makoedum Sati memanfaatkan tanah pemberian tersebut untuk bersawah dan berladang guna memenuhi kebutuhan rombongan yang ia bawa dari Sumatera Barat. Dalam waktu singkat, Makoedom Sati beserta rakyatnya menjadi orang makmur dan menyatakan kesetiaannya kepada kekuasaan Sultan Aceh.
Tak lama berselang, Makoedum Sati memutuskan pindah ke muara Sungai Woyla perbatasan daerah Pidie. Di sana, Makoedum dan rombongan menetap dan kembali membuka persawahan, ladang, perdagangan hingga mengumpulkan biji emas yang dibawa arus Sungai Woyla.
Kemakmuran yang dicapai Makoedum terdengar oleh Sultan Aceh yang bernama Jamalul Alam. Saat itu, Sultan meminta upeti kepada Makoedum karena merasa wilayah yang ditempati perantau Minangkabau tersebut masih di bawah kekuasaannya.
Akan tetapi, Makoedum dengan lantang menolak mentah-mentah jika harus menyerahkan upeti kepada Sultan Jamalul Alam. Sultan berulang kali meminta dan mengingatkan agar Makoedum memberikan upeti, namun lagi-lagi permintaannya tidak dipenuhi.
Bahkan, pada suatu kesempatan Makoedum menyerahkan besi tua yang sudah berkarat kepada Sultan Aceh. Hal itu lantas membuat Sultan marah karena merasa dihina sehingga memutuskan menyerang dan menangkap Makoedum Sati. Dalam pertempuran itu, Makoedum kalah telak dan seisi perkampungannya dibakar oleh pasukan Sultan Aceh.
Usai ditangkap, Makoedum disiksa. Bahkan, ia dipaksa menelan cairan besi panas yang sebelumnya ia kirim kepada Sultan Jamalul Alam. Akan tetapi, usaha sultan untuk membinasakan Makoedum sia-sia. Makoedum tetap hidup karena, konon, ia memiliki ilmu yang bisa mendinginkan besi panas.
Singkatnya, atas kebijaksanaan Sultan Jamalul Alam, Makoedum diberi ampunan, namun harus mengabdi kepada Sultan Aceh.