Ahad 15 Sep 2024 16:48 WIB

KPU Singgung Ancaman Pidana, Akademisi: Gerakan Tusuk Tiga Paslon Kebebasan Berpendapat

KPU menyebut gerakan tusuk tiga paslon bisa dipidana jika ada janji atau imbalan.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Andri Saubani
Titi Anggraeni
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Titi Anggraeni

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta menilai adanya gerakan "Anak Abah Tusuk Tiga Paslon" di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta berpotensi dipidana. Apalagi, ketika terdapat ancaman atau imbalan kepada masyarakat untuk terlibat dalam gerakan tersebut. 

Dosen Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggriani menilai, penggunaan hak pilih merupakan hak dari setiap warga negara yang berstatus sebagai pemilih. Pasalnya, memilih dalam pemilihan yang ada di Indonesia bersifat pemberian suara secara sukarela atau voluntary voting.

Baca Juga

"Itu diatur dalam UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU HAM," kata dia melalui keterangannya yang telah dikonfirmasi Republika, Ahad (15/9/2024).

Meski demikian, ia menilai, gerakan untuk tidak menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilih tidak sesuai ketentuan tetap bisa dipidana. Pidana berlaku ketika gerakan itu disertai dengan adanya imbalan berupa uang, barang, jasa, atau materi lainnya, alias disertai politik uang. Pidana juga dapat diberikan kepada pihak yang mengajak untuk golput, tidak menggunakan hak pilih, atau menggunakan hak pilih secara tidak sah, dengan menggunakan intimidasi kekerasan atau cara-cara yang melawan hukum.

"Dalam hal ini, kita harus pastikan menggunakan atau tidak menggunakan hak pilih itu adalah hak dan tidak boleh ada orang yang dimanipulasi untuk menggunakan haknya itu, tidak boleh ada orang yang dipaksa untuk menggunakan atau tidak menggunakan. Semuanya harus berangkat dari kehendak bebas," kata Titi.

Menurut dia, apabila gerakan untuk mencoblos tiga pasangan calon dilakukan secara damai, tidak menggunakan politik uang, intimidasi atau tekanan, serta tidak dengan penyebaran disinformasi dan hoaks, maka itu bisa dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. Karena itu, untuk melawan gerakan itu, pihak terkait harus melakukannya dengan cara yang baik.

"Proses pemilunya harus berjalan luber jurdil, kompetisinya harus kompetitif dan sehat, serta penegakan hukum harus efektif. Kalau ada pemilih yang memutuskan untuk tidak datang ke TPS atau memilih dengan cara yang dia inginkan, maka itu adalah kehendak bebas dari setiap warga negara yang punya hak pilih," kata dia.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement