REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perang Israel di Gaza sudah mendekati satu tahun. Negeri penjajah tersebut pun harus mengeluarkan biaya yang mahal selama menjalankan aksi genosidanya. Di tengah pembantaian Israel yang sudah membuat lebih dari 40 ribu jiwa warga Gaza menjadi syuhada, Israel menghadapi kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja.
Perekonomian Israel dilaporkan mengalami kontraksi. Biro Pusat Statistik Israel yang dirilis pada Senin (16/9/2024), mengungkapkan, defisit fiskal kian melebar. Sementara, lembaga pemeringkat utang Moody’s telah menurunkan peringkat kredit negeri zionis tersebut.
Inflasi Israel juga melaju lebih cepat dari yang diperkirakan pada bulan Agustus. Kenaikan harga didorong oleh naiknya biaya produk segar, perumahan, dan perjalanan ke luar negeri, dilansir dari Al-Mayadeen yang dikutip Republika di Jakarta.
Tingkat inflasi tahunan selama 12 bulan terakhir meningkat menjadi 3,6%, menandai level tertinggi sejak Oktober. Angka ini naik dari 3,2% pada Juli dan 2,9% di bulan Juni. Inflasi tetap berada di atas kisaran target tahunan pemerintah sebesar 1% sampai 3% selama dua bulan berturut-turut.
Secara bulanan, indeks harga konsumen (IHK), yang mengukur biaya rata-rata barang-barang rumah tangga, naik 0,9% pada Agustus, melebihi ekspektasi para analis, yang berkisar antara 0,5% hingga 0,6%. Pada Agustus, terdapat kenaikan harga yang signifikan, termasuk kenaikan 13,2% pada harga sayuran segar, dengan harga tomat yang melonjak 37,3%.
Biaya transportasi naik 2,8%, harga rumah naik 0,6%, dan biaya budaya dan hiburan naik tipis 0,5%, seperti yang dilaporkan oleh Biro Statistik. Surat kabar Israel, Haaretz, mengkritik situasi ekonomi di “Israel”, dengan menyatakan bahwa “perang yang paling lama dan paling mahal dalam sejarah Israel yang membebankan biaya hidup dan mengurangi kesempatan untuk menurunkan suku bunga.”
Namun, ini tidak berarti bahwa Bank “Israel” akan terburu-buru menaikkan suku bunga, karena khawatir akan menghambat aktivitas ekonomi, yang merupakan hal terakhir yang dibutuhkan saat ini, menurut Haaretz.
Lebih jauh lagi, surat kabar ini menjuluki indeks biaya hidup di “Israel” sebagai “Indeks Perang”, dengan menyatakan bahwa “perang terpanjang dan termahal dalam sejarah negara ini tidak hanya menimbulkan kerugian dalam biaya keamanan dan kompensasi bagi banyak korban, namun juga biaya hidup.” Indeks untuk bulan Agustus, yang naik 0,9% - berlawanan dengan perkiraan awal yang mengungkap, kenaikan hanya 0,5% - sebagian besar disebabkan oleh perang dan dampaknya.
Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa sebagian dari kenaikan pendapatan tersebut disebabkan oleh kenaikan tajam untuk perjalanan udara pada maskapai penerbangan Israel. Kenaikan ini didorong oleh penurunan yang signifikan dalam penerbangan dari maskapai-maskapai asing ke Israel yang mengakibatkan penurunan pasokan dan peningkatan permintaan, terutama pada bulan Agustus. Akibatnya, terjadi kenaikan 22,1% dalam biaya perjalanan ke luar negeri.