REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto menanggapi soal pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik menjadi 12 persen sebagai amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurut pandangannya, pungutan yang bersifat mandatory tersebut semestinya diiringi dengan dilonggarkannya kebijakan non fiskal, sehingga kondisi ekonomi masyarakat tidak terlampau tertekan.
“Sekiranya itu (PPN 12 persen) tidak bisa ditarik mundur tidak apa-apa, tetapi pemerintah harus memberikan balancing atau keseimbangan. Di satu sisi kewajiban warga negara sebagai wajib pajak itu terpenuhi, tetapi tambahan beban kenaikan pembayaran pajak juga harus bisa dikompensasi,” kata Ryan saat dihubungi Republika, Senin (16/9/2024) lalu.
Ryan mengatakan, kebijakan-kebijakan yang sifatnya semacam insentif atau stimulus mestinya bisa menjadi penyeimbang. Sehingga meskipun wajib pajak dibebankan dengan kewajiban yang lebih tinggi, tetapi setidaknya dapat kompensasi berupa kemudahan-kemudahan atau keringanan.
“Misalnya, tarif-tarif yang sifatnya non fiskal, non pajak, paling tidak jangan dinaikkan atau syukur-syukur diturunkan. Contohnya, meskipun nanti harga minyak dunia mencapai di atas asumsi APBN 2025 yang 82 dolar AS per barrel, andaikata harga minyak dunia tahun depan 85 dolar AS per barrel, pemerintah jangan sekali-kali menaikkah harga BBM,” ujar Ryan.