Selasa 17 Sep 2024 09:02 WIB

'Kunjungan Paus Fransiskus Momentum Kolaborasi Indonesia-Vatikan'

Prof Sahiron berharap Indonesia bisa semakin dewasa dan kuat.

Pemimpin Takhta Suci Vatikan Paus Fransiskus berjalan untuk meninggalkan Indonesia di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (6/9/2024). Paus Fransiskus melanjutkan perjalanan menuju Papua Nugini setelah mengunjungi Indonesia selama empat hari.
Foto: AP Photo/Tatan Syuflana
Pemimpin Takhta Suci Vatikan Paus Fransiskus berjalan untuk meninggalkan Indonesia di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (6/9/2024). Paus Fransiskus melanjutkan perjalanan menuju Papua Nugini setelah mengunjungi Indonesia selama empat hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan September ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang dikunjungi oleh Paus Fransiskus. Paus ke-266 dari Vatikan ini berkunjung untuk menyampaikan pesan-pesan keimanan dan perdamaian, yang diharapkan dapat  menguatkan rasa persahabatan yang telah terjalin antarumat beragama di Indonesia.

Guru Besar bidang Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Prof Sahiron Syamsuddin menjelaskan bahwa kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia memiliki urgensi yang sangat besar bagi banyak pihak. Hal ini dapat berdampak positif pada persahabatan dan kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya bagi umat Katolik dan Islam.

“Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia sangat penting untuk memperkuat toleransi dan harmoni antar umat beragama. Paus Fransiskus sangat concerned terhadap isu-isu kemanusian, keadilan dan perdamaian," ujar Prof Sahiron, Rabu (4/9/2024).

Lebih lanjut, Prof Sahiron menguraikan bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia juga bisa diartikan sebagai bentuk perhatian dan apresiasi umat Katolik di seluruh dunia pada keberhasilan Indonesia dalam mengelola toleransi antarumat beragama. Wujud perhatian ini diharapkan dapat dikelola dengan baik oleh Indonesia, sehingga dapat menjadi percontohan bagi dunia Internasional bahwa kemajemukan dapat dinaungi dengan baik melalui Pancasila dan UUD 1945.

Prof Sahiron juga menyebutkan, perdamaian yang telah terjalin lama di Indonesia terkadang mendapatkan gangguan dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan konflik antarumat beragama. Tanpa terkecuali, pemeluk agama Islam dan Kristen di Indonesia sempat beberapa kali terjebak dalam konflik yang sifatnya primordial dan cenderung tidak substansial. Padahal, penyebab konflik biasanya diawali dari hal yang sepele, namun karena kurangnya komunikasi yang efektif dari kedua belah pihak, masalah kian menajam.

“Konflik-konflik yang pernah terjadi Indonesia yang melibatkan umat-umat beragama, khususnya Islam dan Kristen, itu muncul bukan karena ajaran agama masing-masing, tetapi karena faktor politik dan ketidakadilan. Kita semua tentu berharap agar konflik-konflik serupa tidak terjadi lagi," kata Prof Sahiron.

Selain itu, Prof Sahiron yang juga aktif menjadi pengajar pada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini berpendapat bahwa perbedaan keyakinan sebenarnya tidak menjadi penghalang bagi mereka yang berbeda keimanan dalam berbuat kebaikan.

Menurutnya, manusia seharusnya mampu saling menghormati dan toleransi. Jika masih ada manusia yang berbuat sebaliknya, yakni menyebarkan perpecahan dan permusuhan, maka bisa disimpulkan bahwa dia belum memahami agamanya dengan benar.

“Perbedaan agama, keyakinan dan aliran bukan merupakan faktor penyebab konflik, karena semua agama mengajarkan persatuan antarumat manusia, saling menghormati dan bertoleransi. Kalau pun ada teks-teks agama yang mengindikasikan sebaliknya, maka teks-teks itu harus dipahami secara baik dan benar. Penafsiran kontekstual perlu diutamakan dengan memperhatikan konteks turunnya teks-teks keagamaan dalam konteks kekinian,” ungkap Prof Sahiron.

Terkait dengan hubungan lintas keimanan dan dampaknya terhadap stabilitas nasional, Prof Sahiron mengatakan bahwa hal ini berkorelasi secara langsung. Sebabnya, dengan rukunnya antarumat beragama di Indonesia, maka rakyatnya tidak mudah dipecah belah oleh isu-isu yang sifatnya temporer dan politis.

“Hubungan lintas keimanan yang baik memberi dampak yang sangat positif pada stabilitas nasional,” katanya.

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia juga menyiratkan tentang baiknya hubungan Indonesia dengan Vatikan. Hubungan kedua negara ini dapat menjadi simbol persatuan dalam perbedaan, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan Vatikan adalah negara yang menjadi pusat keagamaan Katolik. 

Menurut Prof Sahiron, relasi Indonesia dengan Vatikan sejauh ini sangat baik. Hubungan yang baik ini harus dipertahankan dan ditingkatkan, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi kedua negara.

Dalam mengelola perbedaan antarumat beragama, Prof Sahiron berharap agar Indonesia bisa semakin dewasa dan kuat terhadap terpaan isu-isu yang bernuansa politis dan mampu memicu polarisasi. Indonesia harus bisa menjadi role model bagi dunia akan keberhasilannya dalam mengelola perbedaan keyakinan diantara warga negaranya.

“Agar toleransi terus meningkat, diharapkan aktivitas-aktivitas positif, seperti dialog antarumat beragama, penguatan moderasi beragama, dan lain sebagainya, dapat dilaksanakan secara masif dan lebih efektif," kata Prof Sahiron.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement