REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- India mengecam komentar dari pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei mengenai perlakuan terhadap minoritas Muslimnya.
Kementerian Luar Negeri India mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Senin (16/9/2024) bahwa pernyataan yang dibuat oleh Ali Khamenei dalam sebuah posting di X adalah salah informasi dan tidak dapat diterima.
India dan Iran secara umum menikmati hubungan yang dekat. Namun, pendekatan pemerintah nasionalis Hindu India terhadap kaum minoritas telah menyebabkan perselisihan di masa lalu.
The enemies of Islam have always tried to make us indifferent with regard to our shared identity as an Islamic Ummah. We cannot consider ourselves to be Muslims if we are oblivious to the suffering that a Muslim is enduring in #Myanmar, #Gaza, #India, or any other place.
— Khamenei.ir (@khamenei_ir) September 16, 2024
"Negara-negara yang mengomentari kaum minoritas disarankan melihat catatan mereka sendiri sebelum membuat pengamatan apa pun tentang negara lain," demikian bunyi pernyataan dari New Delhi, dilansir di Aljazirah, Selasa (17/9/2024).
Surat singkat itu menyusul unggahan media sosial dari Khamenei yang mengatakan, "Kita tidak dapat menganggap diri kita sebagai Muslim jika kita tidak menyadari penderitaan yang dialami seorang Muslim di Myanmar, Gaza, India, atau tempat lain mana pun."
India dan Iran cenderung memiliki hubungan yang baik, yang diilustrasikan oleh ikatan ekonomi kuat. Pada Mei, mereka menandatangani kontrak 10 tahun untuk mengembangkan dan mengoperasikan pelabuhan Chabahar di Iran, di pantai tenggara Iran.
India tengah mengembangkan pelabuhan tersebut sebagai pintu gerbang ekspor ke Iran, Afghanistan, dan Asia Tengah. Hal itu memungkinkannya melewati pelabuhan Karachi dan Gwadar di Pakistan yang merupakan negara saingannya.
Namun, Khamenei sebelumnya bersikap kritis terhadap berbagai isu yang melibatkan umat Muslim di India dan wilayah Kashmir yang mayoritas penduduknya Muslim.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan perlakuan buruk terhadap umat Muslim telah meningkat di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, yang menjabat sebagai perdana menteri pada 2014.
Sejak saat itu, negara tersebut telah mengalami peningkatan jumlah serangan terhadap umat Muslim dan mata pencaharian mereka. Laporan tentang ujaran kebencian juga meningkat.
Kasus-kasus penghakiman massa dengan dalih melindungi sapi, yang dianggap suci oleh sebagian umat Hindu, telah meningkat selama masa kekuasaan Modi, dan rumah-rumah serta properti telah dihancurkan.
Pada Maret, pemerintah India mengumumkan peraturan untuk menerapkan Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan, sebuah undang-undang kontroversial yang membuka jalan bagi kewarganegaraan India bagi para pengungsi non-Muslim dari negara-negara tetangga.
Undang-undang tersebut menyatakan penganut Hindu, Parsi, Sikh, Buddha, Jain, dan Kristen yang melarikan diri ke India yang mayoritas beragama Hindu dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang mayoritas Muslim sebelum 31 Desember 2014, memenuhi syarat memperoleh kewarganegaraan.
Undang-undang tersebut dinyatakan anti-Muslim oleh beberapa kelompok hak asasi manusia karena menjauhkan komunitas tersebut dari lingkupnya, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai karakter sekuler negara demokrasi terbesar di dunia tersebut.
Sementara itu, para kritikus juga menuduh Iran melakukan diskriminasi terhadap kaum minoritas. Bulan lalu, sebuah laporan PBB mengatakan minoritas etnis dan agama, khususnya minoritas Kurdi dan Baluch, telah secara tidak proporsional terkena dampak tindakan keras Teheran sejak protes massal pada 2022.