REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para sejarawan menyebutnya “Guru Segala Ilmu". Ada pula yang mengapresiasinya sebagai “Peletak Dasar Metode Ilmiah” atau “Eksperimentalis Besar Pertama” (World’s First Great Experimenter). Kontribusinya meliputi bidang ilmu alam maupun humaniora. Dialah yang pertama kali menghitung keliling bumi secara presisi. Ilmuwan Muslim tersebut merintis pula antropologi dan indologi.
Nama sosok yang dimaksud adalah Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni. Tokoh dari abad ke-11 M ini telah menghasilkan tidak kurang dari 180 judul karya. Mayoritasnya membahas percobaan ilmiah yang dilakukannya mengenai pelbagai fenomena alam.
K Ajram dalam The Miracle of Islamic Science (1992) mengatakan, total karya ilmiah yang ditulis sang saintis Muslim mencapai 13 ribu halaman. Jumlah itu melampaui hasil tulisan Galileo Galilei (1564-1642) dan Isaac Newton (1643-1727) sekaligus.
Bahkan, lanjut Ajram, al-Biruni telah membuka jalan bagi teori gravitasi yang disampaikan Newton. Pada faktanya, ilmuwan kelahiran Negeri Khwarazmi, Asia tengah, itu 500 tahun lebih awal dalam menyatakan adanya gaya tarik bumi.
Dalam sebuah risalahnya, ia menulis, “Semua elemen menuju (ditarik) ke arah pusat bumi, tetapi yang (memiliki) bobot paling berat lebih dahulu daripada yang ringan.” Galileo memperbarui simpulan tersebut dengan menegaskan, seluruh benda memiliki kecepatan jatuh yang sama bila pengaruh gaya luar—semisal embusan angin—dihilangkan.
Menurut Ajram, al-Biruni sebagai seorang fisikawan memberikan sumbangsih pada pengukuran berat jenis benda. Sarjana dari abad ke-11 itu merancang piknometer untuk mengukur dan membandingkan berat jenis zat cair atau zat padat. Yang tidak kurang hebatnya, ia pun menerapkan metode yang runtut sehingga tetap terpakai hingga zaman sekarang.
Untuk menentukan berat jenis suatu benda, al-Biruni pertama-tama menimbang bobot benda itu di udara. Kemudian, benda yang sama ditimbang lagi di air. Air yang berpindah akibat desakan bobot benda itu lalu ditimbang. Ia pun melakukan perbandingan berat benda dan berat air dengan volume yang sama.
Husein Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (2011) merangkum komparasi antara hasil perhitungan berat jenis menurut al-Biruni dan perhitungan modern. Tampak tidak ada perbedaan yang berarti di antara keduanya dalam menghitung massa jenis emas (al-Biruni dan modern: 19,26); air raksa (al-Biruni/modern: 13,74/13,50); tembaga (8,92/8,85); besi (7,82/7,29); timah (7,22/7,29); dan mutiara (2,73/2,75).
Al-Biruni juga mencetuskan prinsip kekekalan massa. Menurutnya, jumlah total massa pada dasarnya tetap walaupun berubah-ubah bentuk. Dengan perkataan lain, massa zat sebelum reaksi (reaktan) sama dengan massa zat sesudah reaksi (produk).
Akan tetapi, hukum itu acap kali disematkan pada sosok Mikhail Lomonosov (1711-1756) dan Antoine Lavoisier (1743-1794). Karena itu, Ajram memandang kedua ilmuwan Eropa itu adalah “murid tidak langsung” al-Biruni—untuk tidak mengatakan bahwa keduanya membajak ide sang cendekiawan Muslim.