REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Sayyidina Hanzhalah Rodhiyollohu 'anhu bercerita, "Suatu ketika, kami sedang berada di majelis Baginda Rasulullah SAW. Beliau menasihati kami sehingga hati kami menjadi tersentuh, air mata kami bercucuran, dan seolah-olah akhirat nampak di depan mata.
Selesai dari majelis Baginda Rasulullah SAW, aku kembali ke rumah
dan berkumpul dengan anak istri. Kemudian kami mulai berbicara mengenai sedikit masalah dunia, bercanda dengan anak-anak, dan bercumbu dengan istri.
Akibatnya, pengaruh suasana yang aku dapatkan dari majelis Baginda
Rasulullah SAW pun mulai sirna. Maka terlintas dalam pikiranku, ternyata keadaanku berbeda dengan keadaan ketika di majelis Baginda Rasulullah itu.
Aku berkata dalam hati, 'Kamu telah menjadi munafik, karena kenyataannya di hadapan Baginda Rasulullah SAW keadaanmu seperti
itu dan sesampainya di rumah keadaanmu seperti ini.'
Akhirnya, aku keluar rumah dalam keadaan menyesal dan sedih sambil
berkata, 'Hanzhalah, kamu telah munafik!' Saat itu, aku berpapasan dengan Sayyidina Abu Bakar Radhiyallohu 'anhu.
Aku berkata kepadanya, 'Hanzhalah telah menjadi munafik!' Mendengar perkataan ini, dia berkata, 'subhanollah, apa yang sedang kau katakan? lni tidak mungkin.'
Kemudian aku pun menceritakan apa yang aku alami, bahwa ketika kami berada di majelis Baginda Nabi SAW, saat beliau bercerita tentang surga
dan neraka, seolah-olah nampak di depan mata. Namun, ketika aku pulang ke rumah dan bercanda dengan anak istri, berbicara tentang harta benda dan lain-lain, semua pengaruh yang aku dapatkan bersama Baginda Rasulullah SAW terlupakan.
Sayyidina Abu Bakar, 'Hal itu juga terjadi pada diri saya."'
Kemudian keduanya menemui Baginda Rasulullah. Sayyidina Hanzhalah berkata, "Ya Rasulullah, aku telah menjadi munafik.'Beliau berkata, "Apa yang terjadi?,
Sayyidina Hanzhalah Radhiyallahu 'anhu bercerita, "ya Rasulullah, jika kami berada di hadapanmu dan engkau menceritakan surga dan neraka kepada kami, seolah-olah keduanya nampak di depan mata. Akan tetapi, jika kami berpisah dengan engkau, bercanda dengan anak istri kami, dan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, semuanya terlupakan.
"Beliau menjawab, "Demi Dzat yang nyawaku berada di dalam kekuasaan-Nya, jika setiap saat keadaanmu selalu seperti
ketika bersamaku, maka para malaikat akan berjabat tangan denganmu di tempat tidurmu dan di jalan-jalan. Wahai Hanzhalah, hanya saja keadaan seperti ini adalah langka. Tetapi, terkadang seperti ini, terkadang seperti itu." (dari Kitab lhya' Ulumuddin dan Shahih Muslim)
Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitab Fadhilah Amal menjelaskan, manusia memiliki keperluan hidup yang harus ditunaikan, yaitu makan, minum, anak, dan istri. Bahkan, menanyakan keadaan mereka pun penting.
Demikian pula, usaha mengingat akhirat seolah-olah nampak di depan mata adalah penting, meskipun kita tidak mampu setiap saat. Kita jangan terlalu berharap setiap saat dapat mengingat akhirat seolah-olah nampak di depan mata, karena itu adalah derajat yang langka.
Sebab, itu adalah seperti derajat para malaikat. Mereka tidak disibukkan dengan urusan lain: tanpa memikirkan anak istri, tanpa memikirkan mata pencaharian, dan tanpa memikirkan urusan keduniaan.
Sebaliknya, manusia senantiasa dibebani keperluannya sebagai manusia, sehingga tidak dapat menetap dalam satu keadaan seperti malaikat.
Dengan demikian, yang harus kita renungkan adalah betapa tinggi
perhatian para shahabat Rodhiyollohu 'anhum terhadap agama mereka. Jika sedikit saja keadaan mereka berubah dibandingkan ketika bersama Baginda Nabi SAW, mereka menyangka bahwa diri mereka
sudah munafik.
Perasaan cinta akan menimbulkan beribu macam prasangka buruk dan
kekhawatiran. Jika anak kita yang kita cintai sedang dalam perjalanan, kita mengkhawatirkan perjalanannya. Jika kita mengetahui bahwa daerah yang dituju terkena wabah penyakit atau bencana, berapa banyak surat serta telegram yang akan kita kirimkan!