REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usaha pertambangan terdiri dari berbagai proses. Tak hanya saat produksinya, tapi juga memperhatikan aspek pemulihaan pasca-eksplorasi. Bahasa lainnya perusahaan harus melakukan reklamasi setelah aktivitas penggalian selesai. Ini agar lahan tersebut bisa dikembalikan minimal menyerupai kondisi naturalnya.
Pertanyaannya, berapa biaya reklamasinya? Koordinator Perlindungan Lingkungan Mineral dan Batubara Horas Pasaribu mengatakan mengenai hal itu detailnya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen). Setelah disahkan, baru bisa dipublikasikan.
Pada intinya, lanjut dia, setiap provinsi berbeda biayaanya. Jika dirata-ratakan sekitar Rp 200 juta per hektare (ha). "Ada yang 150. Di Papua paling mahal. Di atas 200. Ada yang di atas, ada yang di bawah, maka rata-ratanya 200," kata Horas dalam acara Coffee Morning di Gedung Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, di Jakarta, Selasa (24/9/2024).
Ia menegaskan, perusahaan tambang wajib melakukan reklamasi. Bagaimapun keseimbangan alam harus dijaga. Pada saat yang sama, uang jaminan tersebut juga perlu disetorkan.
Horas menerangkan, penyetoran biaya jaminan tidak membebaskan perusahaan tambang dari kegiatan reklamasi. "Nah, kalau misalnya dia tidak melaksanakannya, uang jaminan itu yang notabene besar, nggak akan cair-cair," ujar Koordinator Perlindungan Mineral dan Batubara ini.
Ketika ditanyakan apakah ada kasus seperti itu, Horas mengatakan belum ada. Sejauh ini, tak ada perusahaan yang memilih cara demikian. Ketika sudah disetorkan biaya jaminan, biasanya diikuti dengan tindakan reklamasi.
Pemerintah mengatur biaya jaminan lebih besar dari apa yang akan dikeluarkan. Sehingga membuat perusahaan wajib melakukan aksi pemulihan jika mau mendapatkan kembali dana mereka.
"Misalnya kita nancepin paku di apartemen, kita harus perbaiki. Memperbaiki paling berapa? Rp 10 ribu kan. Tapi diminta jaminan Rp 100 ribu. Yah mendingan saya nggak usah nancepin paku sekalian, atau saya perbaiki biar Rp 100 ribu saya cair (dikembalikan). Gitu ya kira-kira," tutur Horas.
Pada kesempatan serupa, ia juga menyinggung isu penambangan tanpa izin (PETI). Ia menerangkan jika ada pelaporan dari masyarakat seputar potensi pelanggaran, pemerintah berkoordinasi dengan kepolisian sebagai bentuk respon secara hukum.
"Ektremnya, PETI tu kan pencuri. Karena kita belum punya penegak hukum, kita hanya berkoordinasi dengan Polda setempat," tutur Horas.