REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerti, Hibnu Nugroho, menilai perlu ada evaluasi atas hukuman pidana pelaku korupsi. Hibnu mendukung kejaksaan menerapkan tuntutan hukum berat bagi tersangka korupsi.
Menurut Hibnu, kita harus mengevaluasi terhadap hukuman pidana korupsi karena adanya kecenderungan hukumannya tidak menimbulkan efek jera. “Baik itu terhadap pidana penjaranya, apalagi kerugian negaranya. Kerugian negara itu tidak lebih dari 20 persen yang kembali kepada negara,” kata Hibnu.
Dalam aspek ‘balasan’ yang retributif yang lama, menurutnya, karena ditengarai hukuman pidana korupsi saat ini terlalu ringan. “Ibaratnya keluar penjara masih kaya sekali. Bahkan menghitung berapa pidananya, berapa kerugian negaranya, keluar dari penjara masih tajir-tajir,” ungkap dosen pengajar Fakultas Hukum Unsoed ini. Kondisi seperti ini, lanjut Hibnu, tidak boleh terjadi di negara yang angka korupsinya tinggi.
Salah satu cara yang harus dilakukan, menurut Hibnu, adalah dengan tuntutan pidana yang tinggi untuk terdakwa korupsi. “Dan terakhir di majelis hakim yang seirama dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU),” kata Hibnu.
Hibnu menilai Kejaksaan banyak membantu BUMN dalam program bersih-bersihnya. Dikatakannya, BUMN sebagai perusahaan negara yang harus memberikan contoh tata kelola yang baik. Termasuk bisa memberikan support dalam pemasukan negara.
“Jadi BUMN yang sudah menggunakan fasilitas negara, uang negara, tidak bisa dikelola dengan setengah hati. Indonesia sedang butuh pendapatan negara. Jangan terus BUMN hidup segan mati tak mau. Selain pajak, kan tulang punggungnya ada di BUMN. Jadi harus diantisipasi kerugian-kerugiannya,” papar Hibnu.