Rabu 25 Sep 2024 09:44 WIB

Imam Marcellus dan Sejarah Kelam 'Lynching' Terhadap Kulit Hitam di Missouri

Missouri punya riwayat kelam penindasan rasial terhadap kulit hitam.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Ekseskusi di luar hukum (lynching) warga kulit hitam di AS pada 1882.
Foto: Library of Congress
Ekseskusi di luar hukum (lynching) warga kulit hitam di AS pada 1882.

REPUBLIKA.CO.ID, MISSOURI – Eksekusi mati terhadap Imam Marcellus Khalifah Williams oleh pengadilan Negara Bagian Missouri di Amerika Serikat disebut sejumlah advokat sebagai penghakiman massa alias “lynching” modern. Peristiwa itu menyoroti kembali sejarah kelam Missouri menindas komunitas budak kulit hitam di masa lalu.

Pada 2023 lalu, Death Penalty Information Center di AS mengeluarkan laporan soal fenomena tersebut. Mereka menyinggung bahwa beberapa dekade sebelum Missouri menjadi negara bagian, wilayah tersebut mengadopsi undang-undang hukuman mati yang diterapkan berdasarkan ras. 

Baca Juga

Setidaknya ada empat kejahatan yang hanya bisa diadili secara pidana jika dilakukan oleh orang yang diperbudak. Setelah Missouri menjadi negara bagian pada tahun 1821 dan mengadopsi undang-undang hukuman mati yang netral terhadap ras, hukuman mati terus diterapkan secara diskriminatif: orang yang diperbudak memiliki kemungkinan empat kali lebih besar untuk dieksekusi dibandingkan orang kulit putih Missouri sebelum tahun 1865.

Pada masa-masa itu, di wilayah selatan AS marak terjadi pengeroyokan dan pembunuhan terhadap para budak dan kulit hitam berdasarkan desas-desus semata. Para budak biasanya dipukuli dan akhirnya digantung sampai mati di pohon-pohon. Di AS, praktik menjijikkan itu disebut “lynching”. Seperti yang diterapkan terhadap Imam Marcellus, hukuman-hukuman massal ini kerap tanpa bukti kejahatan yang meyakinkan.

Peristiwa lynching pertama yang terdokumentasi dalam sejarah AS terjadi di Missouri pada tahun 1838. Pada akhir tahun 1800-an, lynching  dan teror rasial semakin sering terjadi, khususnya di bagian Selatan, yang merupakan bekas negara bagian pemilik budak. 

Pada 1855, misalnya seorang gadis budak berusia 18 tahun yang sedang hamil bernama Celia dituduh membunuh pemiliknya setelah sang pemilik mencoba memperkosanya. Pagi hari setelah pembunuhan itu, seorang tetangga berkulit putih memaksa Celia mengaku, kemudian mengatakan bahwa dia telah “menyediakan tali untuknya jika dia tidak memberi tahu.” 

Pengakuan ini kemudian digunakan untuk menjamin hukuman mati bagi Celia. Hukum Missouri saat itu sedianya membolehkan perlawanan dilakukan oleh “perempuan manapun” yang terancam diperkosa. Meski begitu, status Celia sebagai budak membuatnya dikecualikan dari hukum tersebut. Dia digantung pada 21 Desember 1855.

Pada April 1906, Horace Duncan dan Fred Coker, dua pria kulit hitam yang tidak bersalah, diculik dari penjara county di Springfield, Missouri dan digantung oleh gerombolan kulit putih yang terdiri dari beberapa ribu peserta. Duncan dan Coker ditangkap setelah seorang wanita kulit putih melaporkan diserang oleh dua pria kulit hitam. 

photo
Suasana ekseskusi warga kulit hitam di Sprigfield, Missouri pada 1906. - (Ozarks African American History Collection)

Tidak ada bukti bahwa Duncan dan Coker terlibat dalam kejahatan tersebut, dan majikan mereka juga memberikan alibi yang menegaskan bahwa mereka tidak mungkin terlibat dalam dugaan penyerangan tersebut. Meskipun demikian, seperti dilaporkan sebuah surat kabar, gerombolan tersebut ”berkeinginan untuk membalas dendam dan tidak ingin membeda-bedakan antara bersalah dan tidak bersalah”. 

Setelah menyaksikan tubuh Duncan dan Coker terbakar menjadi abu, massa terus mengamuk dan menculik pria kulit hitam lainnya dari penjara. Will Allen menjadi korban ketiga dan terakhir dari gerombolan. Dua hari kemudian, wanita yang melaporkan penyerangan tersebut mengeluarkan pernyataan yang mengatakan dia “yakin” bahwa Coker dan Duncan bukanlah penyerangnya, namun sudah terlambat. Tidak ada seorangpun yang dihukum setelah peristiwa lynching tersebut.

Salah satu kasus yang terkini dan ramai mendapat sorotan dari Missouri adalah pembunuhan yang dilakukan anggota polisi terhadap Michael Brown di Ferguson pada 2014. Brown saat itu sudah mengangkat tangannya saat hendak ditahan, namun tetap ditembak 12 kali oleh petugas polisi kulit putih. Panembahan itu memicu kerusuhan berminggu-minggu di Ferguson yang menyebar ke daerah lain.

photo
Petugas polisi berdiri di atas truk lapis baja untuk memantau pergerakan sekelompok demonstran yang gaduh selama protes terhadap penembakan Michael Brown di dekat Ferguson, Missouri, 18 Agustus 2014. - (REUTERS/Lucas Jackson)

Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, setidaknya 60 warga kulit hitam Missouri terbunuh dengan cara tersebut, menjadikannya negara bagian dengan jumlah lynching terkait teror rasial tertinggi kedua di luar wilayah Selatan.  

Meskipun jumlah hukuman mati tanpa pengadilan menurun, eksekusi publik berlanjut di Missouri lebih lama dibandingkan semua negara bagian kecuali satu negara bagian lainnya. Eksekusi di depan umum adalah salah satu bentuk kekerasan rasial. 

Ada contoh sheriff yang memberikan suvenir kepada peserta eksekusi seperti potongan tali yang digunakan untuk menggantung orang kulit hitam dan bahkan bagian tubuh korban. 

Setelah eksekusi empat kali lipat di St Louis, seorang pemilik toko obat diizinkan untuk memamerkan kepala orang kulit hitam yang terpenggal yang dieksekusi di tokonya. “Ini pengingat terus-menerus akan hukuman mati tanpa pengadilan dan eksekusi brutal digunakan oleh orang kulit putih untuk terus mengancam dan mengintimidasi orang kulit hitam,” tulis laporan Death Penalty Information Center.

photo
Gerombolan kulit putih membakar rumah warga kulit hitam di Missouri pada aqal abad ke-20. - (Public Domain)

Salah satu disparitas rasial yang paling jelas dan persisten dalam hukuman mati berkaitan dengan banyaknya jumlah korban kulit putih dalam kasus-kasus yang dijatuhi hukuman mati. 

Di Missouri, pembunuhan yang melibatkan korban berkulit putih tujuh kali lebih mungkin mengakibatkan eksekusi dibandingkan dengan korban berkulit hitam. Dari semua hukuman mati yang dijatuhkan di Missouri sejak tahun 1972, 80 persen melibatkan korban kulit putih, meskipun korban kulit putih merupakan sekitar 36 persen dari korban pembunuhan di negara bagian tersebut. 

Sementara itu, data pembunuhan tahun 2020 mengungkapkan bahwa, selama tujuh tahun berturut-turut, Missouri memiliki tingkat viktimisasi pembunuhan kulit hitam tertinggi di negara tersebut. 

“Hukuman mati (terhadap Imam Marcellus), terutama dalam kasus seperti ini, merupakan perpanjangan dari riwayat lama kekerasan rasial di negara ini,” ujar Michelle Smith, Wakil Direktur Missourians untuk Alternatif Hukuman Mati (MADP) dilansir Kansas Defender. “Missouri sekali lagi menunjukkan bahwa nyawa orang kulit hitam, tubuh orang kulit hitam, dapat dimusnahkan oleh negara tanpa konsekuensi apa pun.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement