REPUBLIKA.CO.ID, MISSOURI – Eksekusi mati terhadap Imam Marcellus Khalifah Williams oleh pengadilan Negara Bagian Missouri di Amerika Serikat disebut sejumlah advokat sebagai penghakiman massa alias “lynching” modern. Peristiwa itu menyoroti kembali sejarah kelam Missouri menindas komunitas budak kulit hitam di masa lalu.
Pada 2023 lalu, Death Penalty Information Center di AS mengeluarkan laporan soal fenomena tersebut. Mereka menyinggung bahwa beberapa dekade sebelum Missouri menjadi negara bagian, wilayah tersebut mengadopsi undang-undang hukuman mati yang diterapkan berdasarkan ras.
Setidaknya ada empat kejahatan yang hanya bisa diadili secara pidana jika dilakukan oleh orang yang diperbudak. Setelah Missouri menjadi negara bagian pada tahun 1821 dan mengadopsi undang-undang hukuman mati yang netral terhadap ras, hukuman mati terus diterapkan secara diskriminatif: orang yang diperbudak memiliki kemungkinan empat kali lebih besar untuk dieksekusi dibandingkan orang kulit putih Missouri sebelum tahun 1865.
Pada masa-masa itu, di wilayah selatan AS marak terjadi pengeroyokan dan pembunuhan terhadap para budak dan kulit hitam berdasarkan desas-desus semata. Para budak biasanya dipukuli dan akhirnya digantung sampai mati di pohon-pohon. Di AS, praktik menjijikkan itu disebut “lynching”. Seperti yang diterapkan terhadap Imam Marcellus, hukuman-hukuman massal ini kerap tanpa bukti kejahatan yang meyakinkan.