Kamis 26 Sep 2024 06:39 WIB

Pimpinan MPR Dorong Soeharto dan Gus Dur Raih Gelar Pahlawan Nasional

Penyebutan nama Presiden Soeharto dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 sudah selesai.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet)
Foto: Republika/Prayogi
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menuturkan bahwa pimpinan MPR mendorong agar presiden ke-2 RI HM Soeharto dan presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mendapat gelar Pahlawan Nasional. Menurut Bamsoet, jangan sampai ada warga negara Indonesia, apalagi seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil.

"Tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu dan terlibat pada berbagai peristiwa kelam pada masa lalu," kata Bamsoet usai Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/9/2024).

Bamsoet menekankan, sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa. Oleh karena itu, pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian dari Ir Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur bisa mendapat penghargaan yang layak.

Dia mengatakan, MPR telah menerima surat dari Fraksi Partai Golkar tertanggal 18 September 2024 perihal kedudukan Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang membahas soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pimpinan MPR, menurut dia, bersepakat perihal kedudukan hukum Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 menyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003.

Namun, kata dia, terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 secara pribadi Pak Harto (sapaan akrab presiden ke-2 RI) dinyatakan telah selesai dilaksanakan. Hal itu karena yang bersangkutan telah wafat.

Selain itu, lanjut Bamsoet, pimpinan MPR juga menerima surat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa perihal Kedudukan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang berisi pemberhentian sebagai presiden.

Berdasarkan kesepakatan rapat gabungan, pimpinan MPR menegaskan, ketetapan MPR tersebut saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi, sebagaimana dinyatakan oleh Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

"Seluruh hal tersebut dilaksanakan pimpinan MPR sebagai bagian dari penyadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan," kata Bamsoet.

Dia menegaskan, MPR adalah aktualisasi dari permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia. Maka, sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa. "Layaknya benang yang mengikat kain berbagai warna, MPR menganyam harapan dan cita-cita bangsa dalam satu harmoni," ujar Bamsoet.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement