REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan potensi penerimaan negara bukan pajak (BNPB) dari ekspor sedimen pasir laut bisa mencapai triliunan rupiah. Hal itu merupakan hitung-hitungan kasar dari rencana ekspor sedimen pasir laut yang hingga kini masih digodok.
“Kalau misalkan yang diekspor 50 juta meter kubik, maka kemungkinannya Rp 2,5 triliun dengan harga 93 ribu per meter kubik dengan tarifnya 30-35 persen,” kata Direktur Penerimaan Bukan Pajak Kementerian/Lembaga Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kemenkeu Wawan Sunarjo dalam agenda Media Gathering APBN 2025 di Serang, Banten, Kamis (26/9/2024).
Kendati demikian, Wawan mengatakan belum ada target yang pasti dalam anggaran di 2025 mendatang. Di samping itu juga, dalam implementasi ekspor sedimen pasir laut perlu proses assessment yang terukur.
“Memang nggak mudah untuk eksplorasi, karena menurut KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), sebelum eksplorasi sedimen perlu penelitian terlebih dahulu karena khawatir ada mineral. Kalau ada mineral kan enggak boleh, nanti akan ada penelitiannya,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu M Alfah Farobi menuturkan, ekspor sedimen pasir laut telah dilarang sejak empat tahun yang lalu atau pada 2020. Sehingga target penerimaan pada tahun ini nihil.
“Industri hilirnya juga tidak dihitung bea keluar. Bea cukai hanya jadi eksekutor kalau ada ekspor. Kami hanya persiapkan memberikan pelayanan dan pengawasan ketika ekspornya dilakukan,” tutur dia.
Diketahui, keputusan membuka kembal ekspor sedimen pasir laut diteken oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) lewat dua peraturan. Yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.