Selasa 01 Oct 2024 10:00 WIB

Regulasi ini Dinilai Rugikan IHT, Begini Penjelasannya

IHT berharap dapat meningkatkan kesejahteraan petani tembakau.

Kawasan industri hasil tembakau (KIHT) Kudus telah resmi menjadi aglomerasi pabrik hasil tembakau (APHT) pertama di Indonesia.
Foto: Bea Cukai
Kawasan industri hasil tembakau (KIHT) Kudus telah resmi menjadi aglomerasi pabrik hasil tembakau (APHT) pertama di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) serta wacana pengesahan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK Tembakau) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinilai mengancam roda perekonomian negara.

Industri Hasil Tembakau (IHT) yang menyumbang hingga Rp213 triliun dari cukai hasil tembakau (CHT) berpotensi mengalami penurunan pendapatan sebagai dampak dari pasal-pasal bermasalah yang tercantum di dalam regulasi tersebut, seperti standardisasi kemasan polos, pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter, hingga pembatasan iklan produk tembakau.

Baca Juga

“Adanya kebijakan kemasan polos membuat downtrading akan terjadi. Tidak ada perbedaan, pemisahan rokok satu dengan lainnya, orang akan cari yang harganya murah saja. Di sini ada celah bagi rokok ilegal karena mudah meniru kemasan rokok legal. Saya sampaikan dampaknya secara general, yaitu kehilangan sebesar Rp213 triliun. Tanya ke Pak Prabowo, apakah mau kehilangan Rp213 triliun?” ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu (25/09).

Hasil penelitian INDEF menunjukkan, dampak ekonomi yang hilang bila penerapan ketiga pasal bermasalah tersebut mencapai Rp308 triliun atau setara 1,5 persen dari PDB. Negara juga berpotensi kehilangan sampai Rp160,6 triliun penerimaan perpajakan, termasuk potensi tenaga kerja terdampak yang mencapai 2.293.957 penduduk bekerja. Untuk itu, ia mendorong aturan-aturan tersebut untuk ditelaah kembali dengan memastikan pelibatan seluruh pihak, termasuk pemangku kepentingan yang terdampak.

Lebih jauh, situasi ini akan berdampak pada turunnya permintaan produk legal sebesar 42,09 persen. Hal ini pun akan membawa efek domino terjadinya penurunan produksi, yang dapat berujung pada penurunan cukai negara hingga terkikisnya peluang lapangan kerja.

“Berdasarkan kalkulasi kami, kalau kemasan polos diterapkan, penerimaan cukai akan hilang sebesar Rp96 triliun. Pelengkapan pita cukai yang dilekatkan sebagai pembeda legal dan ilegal juga akan berubah menjadi memutar karena tidak boleh menutupi gambar akan menjadi celah terhadap produsen rokok ilegal. Penerimaan negara bisa hilang dari sana. Rokok ilegal murah, menjadi pilihan,” kata Andry.

Situasi ketenagakerjaan di masa ini juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, jumlah masyarakat yang mengalami pemutusan hubungan kerja hingga September 2024 mencapai hampir 59.000. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari angka tenaga kerja yang mengalami PHK pada Januari hingga November 2023, yakni sebesar 57.923 pekerja. Melihat situasi ini, dia menekankan pentingnya perumusan regulasi yang tetap mempertimbangkan aspek ekonomi.

Optimalkan Penerimaan Negara

Seperti diketahui, pemerintah saat ini sedang berfokus pada upaya pencarian pendapatan dan penerimaan negara untuk menyambut pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan segera dilantik pada Oktober 2024 mendatang. Secara terpisah, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono juga menyebutkan bahwa pemerintahan baru akan memaksimalkan pendapatan dari pajak, dan salah satu yang akan diupayakan yakni melalui penarikan pajak perusahaan multinasional.

“Sistem pajak tradisional yang selama ini diterapkan tak bisa menarik pajak dari perusahaan multinasional. Hasilnya, terjadi ketidakseimbangan antara keuntungan yang mereka hasilkan dengan di mana mereka membayar pajak. Hal ini membuat beberapa negara, terutama negara berkembang dalam kondisi yang tak diuntungkan,” ujar Thomas (24/09).

Kondisi ini menggambarkan pentingnya upaya menjaga momentum dalam mempertahankan kestabilan ekonomi di masa-masa transisi pemerintahan. Pendapatan negara, baik dari cukai maupun pajak diharapkan bisa mencapai target Rp3.005,1 triliun pada 2025 mendatang. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan warisan utang dari pemerintahan sebelumnya yang mencapai Rp 1.350 triliun, sehingga bentuk-bentuk penarikan pajak dari berbagai sektor dan penerimaan cukai akan menjadi sumber pendapatan negara yang diutamakan. Optimalisasi pendapatan negara menjadi fokus ke depan, sehingga pemerintah perlu memberi perhatian lebih terhadap industri yang menyumbang porsi besar ke dalam penerimaan, termasuk dalam perumusan regulasinya.

Pendapatan negara baik dari cukai maupun pajak diharapkan bisa mencapai target Rp3.005,1 triliun pada 2025, dengan warisan utang dari pemerintahan sebelumnya yang jatuh tempo di tahun depan mencapai Rp1.350 triliun menunjukkan sehingga bentuk-bentuk penarikan pajak dari berbagai sektor dan penerimaan dari cukai akan menjadi sumber pendapatan negara yang diutamakan. Optimalisasi pendapatan negara menjadi fokus ke depan, sehingga pemerintah perlu memberi perhatian lebih terhadap industri yang menyumbang porsi besar ke dalam penerimaan, termasuk dalam perumusan regulasinya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement