REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mayor Jenderal Donald Isaac Panjaitan (dieja pula: Izacus Pandjaitan) adalah seorang pahlawan revolusi yang menjadi korban Gerakan 30 September atau Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada 1965. Ia lahir di Balige, Tapanuli (kini Kabupaten Toba, Sumatra Utara) pada 19 Juni 1925.
Pendidikan dasar dan menengah ditempuhnya di HIS Narumonda dan Christelijke MULO Tarutung. Pada masa pendudukan Jepang, DI Panjaitan masuk ke dunia militer dengan bergabung di Sekolah Opsir Gyugun di Pekanbaru (Riau).
Sesudah Proklamasi RI pada 17 Agustus 1945, DI Panjaitan ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Riau. Untuk selanjutnya, entitas ini menjadi bagian dari TNI.
Karier militernya terus berkembang sesudah masa mempertahankan kemerdekaan RI. DI Panjaitan ditugaskan di berbagai wilayah, termasuk sebagai Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan dan Teritorium II/Sriwijaya. Ia juga memiliki peran penting dalam upaya meredam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Seperti dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kepiawaian tokoh ini bukan hanya di medan tempur. DI Panjaitan fasih berbahasa asing. Hal itu melatarinya ditugaskan sebagai Atase Militer di Bonn, Jerman Barat. Negara juga mengirimkannya ke Amerika Serikat dalam rangka tugas belajar.
Dalam konteks upaya RI merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda, DI Panjaitan juga berperan dalam mengonsolidasi mahasiswa Irian Barat yang sedang belajar di Eropa. Saat itu, ia berhasil menggalang dukungan dari mahasiswa untuk memperkuat klaim Indonesia.
Kembali ke Tanah Air, DI Panjaitan menjabat sebagai Asisten IV Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Lingkup tanggung jawabnya berkaitan dengan urusan logistik.
Seperti umumnya perwira AD, DI Panjaitan pun terkenal sebagai sosok yang anti-komunis. Ini menyebabkannya menjadi target operasi G30S/PKI.
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, rumah DI Panjaitan diserang oleh pasukan G30S/PKI. Mereka dalam menjalankan aksi mengenakan seragam pasukan Cakrabirawa, yakni pengawal presiden RI.
Meskipun sempat diberi pilihan untuk menyelamatkan diri dengan mengikuti kemauan G30S/PKI, DI Panjaitan tegas menolak bekerja sama. Ia tetap bersikap tenang dan berdoa sebelum akhirnya ditembak mati.
Jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 bersama para pahlawan revolusi lainnya. Atas jasa-jasanya, pangkat DI Panjaitan dinaikkan secara anumerta menjadi mayor jenderal. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.