REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji tidak seharusnya memberikan rekomendasi, seperti yang telah dibacakan dalam Sidang Paripurna DPR-RI VIII, kemarin. Hal itu disampaikan pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Oce Madril. Menurut dia, penunjukan menteri agama merupakan hak prerogatif presiden sehingga tidak layak DPR-RI menyarakan ihwal kriteria menteri tertentu.
"Seharusnya, rekomendasi Pansus hanya menyangkut perbaikan kebijakan atau regulasi penyelenggaraan haji serta tata kelolanya, bukan menyangkut orang yang mengisi jabatan tertentu," ujar Oce Mandril dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Sebelumnya, Pansus Hak Angket Haji telah menyampaikan hasil kerjanya dalam Sidang Paripurna DPR VIII Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024). Ada lima rekomendasi yang dibacakan.
Salah satunya mengharapkan pemerintahan RI mendatang mengisi posisi menteri agama (menag) dengan figur yang lebih cakap dan kompeten dalam mengatur dan mengelola penyelenggaraan ibadah haji.
Oce Madril menilai, rekomendasi Pansus Angket Haji bermasalah karena tiga alasan. Pertama, rekomendasi soal posisi menag dalam pemerintahan mendatang bukanlah wewenang DPR-RI.
Menurut UUD 1945, pengisian jabatan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Dalam pengisian jabatan menag, presiden tidak dapat diintervensi sekalipun oleh pansus di DPR-RI.
"Rekomendasi Pansus tersebut offside, terlihat ada kepentingan pihak tertentu untuk mengincar kursi menteri agama mendatang dengan memanfaatkan hasil Pansus," kata dia.
Kedua, lanjut Oce, seharusnya Pansus Haji berfokus pada persoalan kebijakan, regulasi, dan tata kelola penyelenggaraan haji. Dengan demikian, jamaah haji pada tahun depan diharapkan memperoleh layanan yang lebih baik.
Ia mencontohkan Pansus sebaiknya mendorong untuk melakukan legislative review atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Pihak legislatif juga dapat meningkatkan pengawasan di lapangan.
"Tim DPR ikut awasi pelaksanaan haji di lapangan, seharusnya Tim DPR ini harus lebih efektif," katanya.
Terakhir, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas hak angket dalam Undang-Undang tentang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3). Ini telah memberikan batasan, yakni bahwa hasil hak angket harusnya berwujud rekomendasi dan evaluasi untuk perbaikan kebijakan di masa mendatang.
"Dengan demikian, maka hasil Pansus Haji harusnya mendorong perubahan dan perbaikan kebijakan penyelenggaraan haji, baik perbaikan dari sisi legislasi (revisi UU Haji) maupun perbaikan manajemen pelaksanaan haji di lapangan," kata dia.