REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Silvy Dian Setiawan
Gulungan atap seng berjejer di pinggir rel kereta api, tepatnya di barat Stasiun Yogyakarta. Beberapa gulungan seng terlihat masih mengilap seperti baru, dan beberapa lainnya kelihatan sudah tua karena berkarat bahkan berlubang.
Seorang pria paruh baya dengan kaus biru dan celana hitam yang sudah memudar, duduk di atas jejeran gulungan atap seng itu. Ia memandang jauh searah dengan rel, saat warga lainnya sibuk mengemas, dan membongkar rumahnya masing-masing.
Rumah-rumah semi permanen yang dibangun di pinggir kanan dan kiri rel, sudah hampir semuanya rata dengan tanah. Warga bekerja sama membongkar, mengangkut barang-barang dari rumah yang dibongkar di pinggir rel, tepatnya di kawasan Bong Suwung, Kota Yogyakarta.
Para kaum pria bersama-sama mengangkut barang-barangnya yang sudah dikeluarkan dari rumah yang dibongkar. Beberapa barang dimasukkan ke dalam karung besar berukuran 100 kilogram agar mudah diangkut.
Beberapa barang lainnya juga dibungkus warga dalam kantong plastik berwarna-warni dengan ukuran yang cukup besar untuk memasukkan pakaian-pakaian, hingga selimut. Warga bergotong-royong membawa barang yang sudah dikemas tersebut untuk dibawa ke tujuan lain, keluar dari kawasan Bong Suwung.
Begitu kondisi Bong Suwung saat ini, setelah PT KAI menggusur warga yang tinggal di kawasan tersebut. Bangunan warga yang merupakan bangunan semi permanen sudah hampir rata dengan tanah.
Dulunya kawasan Bong Suwung diisi dengan rumah-rumah hingga warung milik warga. Kawasan itu merupakan tanah milik Keraton Yogyakarta, namun dikelola oleh PT KAI untuk operasional kereta api.
Kini, rumah-rumah dan warung yang terpampang di pinggir kanan dan kiri rel sudah dibongkar mandiri oleh warga. Beberapa yang tinggal hanya kayu-kayu penyangga, hingga bambu-bambu yang tidak dibawa warga pindah dari Bong Suwung.
Banyak warga sudah tinggal lama di Bong Suwung, belaran tahun bahkan puluhan tahun. Salah satunya Damar (44 tahun) yang sudah tinggal di kawasan itu lebih dari 30 tahun.
Tentu tidak mudah baginya meninggalkan kawasan tempat ia dibesarkan tersebut. “Sekarang sudah tidak ada Bong Suwung, bagi kami tidak ada yang seindah nge-Bong,” kata Damar yang biasa menyebut aktivitas warga di Bong Suwung dengan nge-Bong.
Penggusuran di Bong Suwung dilakukan bukan tanpa adanya aksi penolakan dari warga. Dikatakan Damar, setidaknya pihaknya telah 13 kali melakukan berbagai aksi demonstrasi ke pihak legislatif maupun eksekutif.
Mulai dari aksi di Kantor Kecamatan Gedongtengen, ke Pemda DIY, ke Pemkot Yogyakarta, hingga ke Ombudsman DIY. Termasuk ke DPRD DIY, hingga ke DPRD Kota Yogyakarta, dan ke PT. KAI dalam hal ini Daop 6 Yogyakarta.
Dalam berbagai aksinya, warga Bong Suwung meminta agar penggusuran tersebut ditunda, hingga nantinya warga bisa mencari tempat tinggal baru. Namun, aksi-aksi tersebut tidak membuahkan hasil, dan PT KAI tetap melakukan sterilisasi.
“Saya tidak rela (digusur), tapi apa boleh buat, kita juga sudah mencoba kemana-mana. Sekarang semua sudah dibongkar, besok (2 Oktober) terakhir kita harus meninggalkan Bong Suwung,” kata Damar kepada Republika saat ditemui di lokasi.
Damar sendiri sudah mendapatkan rumah sewa baru di kawasan Parangkusumo, Kabupaten Bantul. Tempat tersebut ia pilih sebagai tempat tinggal barunya dikarenakan biaya sewa yang murah.
Meski begitu, tidak semua warga mencari rumah sewa baru. Beberapa warga bahkan ada yang pulang ke kampung halamannya di luar Provinsi DIY.
“Saya pindah ke Parangkusumo karena disitu biaya sewanya lebih murah. Tapi yang saya kasihan, ada warga yang belum tahu mau kemana, masih bingung karena masih mencari (tempat baru),” ungkapnya.
Warga yang selama ini tinggal di Bong Suwung memiliki penghasilan yang tidak menentu, bahkan kecil. Ada yang berprofesi sebagai pemulung, tukang parkir, berjualan di warung-warung yang dibangun di pinggir rel, hingga menjadi pekerja seks komersial (PSK).
Warga yang digusur dari Bong Suwung diberikan kompensasi oleh PT. KAI, namun kompensasi tersebut dinilai sangat rendah. Bahkan, untuk biaya bongkar dan angkut saja dikatakan Damar tidak cukup.
“Kita tidak diberikan solusi, tidak ada tempat sewa baru (yang ditawarkan), hanya diberikan kompensasi untuk biaya bongkar dan biaya angkut,” kata Damar.
Kompensasi yang diberikan PT KAI berupa biaya bongkar sebesar Rp 200 ribu per meter untuk bangunan semi permanen, Rp 250 ribu per meter untuk bangunan permanen, ditambah dengan biaya angkut sebesar Rp 500 ribu. Seluruh bangunan warga di Bong Suwung merupakan bangunan semi permanen.
PT KAI melakukan penggusuran atau sterilisasi kawasan Bong Suwung dengan tujuan mengembalikan fungsi emplasemen Stasiun Yogyakarta untuk kegiatan operasional kereta api. PT. KAI pun memberikan waktu kepada warga mengosongkan kawasan tersebut hingga 2 Oktober 2024 ini.
Manager Humas Daop 6 Yogyakarta, Krisbiyantoro mengatakan, pihaknya mengeluarkan uang sebagai ganti rugi pembongkaran rumah warga Bong Suwung dengan total Rp 532 juta.
KAI menyebut penggusuran dilakukan sudah berdasarkan aturan dan prosedur. KAI juga menuturkan sudah mendapatkan izin Serat Palilah dari Keraton Yogyakarta untuk penertiban area Bong Suwung, mengingat kawasan itu merupakan tanah milik Keraton.
“Kawasan Bong Suwung merupakan kawasan yang masih berada di area emplasemen Stasiun Yogyakarta. Dengan dilakukannya sterilisasi, tentu akan mengembalikan fungsi emplasemen tersebut,” kata Krisbiyantoro.
Penggusuran warga Bong Suwung dilakukan setelah PT KAI melayangkan tiga kali surat peringatan (SP) kepada warga untuk mengosongkan kawasan itu. SP pertama dilayangkan pada 5 September, SP kedua pada 12 September, dan SP ketiga dilayangkan pada 20 September 2024.