Jumat 04 Oct 2024 17:00 WIB

Menjadi Calo dalam Perdagangan, Bagaimana Hukumnya Menurut Islam?

Fenomena calo dalam perdagangan sudah ada sejak zaman dahulu.

Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Dalam perdagangan, kadang kala muncul praktik calo.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
ILUSTRASI Dalam perdagangan, kadang kala muncul praktik calo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak jarang dalam aktivitas muamalah atau perdagangan terdapat jasa calo yang berseliweran. Bagaimana pandangan Islam terkait calo dalam perdagangan?

Istilah calo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti makelar atau orang yang menjadi perantara dan memberikan jasa-jasanya berdasarkan upah. KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal menyampaikan dalam literatur fikih, calo itu dinamakan sebagai samsarah.

Baca Juga

Kiai Ali mengutip pernyataan Sayyid Sabiq yang mengartikulasikan simsar sebagai pelaku samsarah dengan orang yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli guna memudahkan proses jual-beli.

Menurutnya, praktik ini diperbolehkan dalam syariat. Imam Bukhari mengemukakan praktik simsar dianggap boleh oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Sirrin, Atha, Ibrahim, Hasan, hingga Ibnu Abbas. Para ulama ini memandang samsarah sebagai akad yang diperbolehkan.

Meski diperbolehkan, ada yang perlu digarisbawahi dalam percaloan. Misal, dalam akad--bahkan semua akad muamalah--harus terjalin adanya saling rela-merelakan. Tidak ada pihak yang dirugikan dalam akad.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Kaum Muslimin itu terikat dengan perjanjian mereka. Kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal."

Sejak zaman Nabi

Pakar ilmu fiqih, Dr Ahmad Zain An-Najah, sebagaimana dikutip dari Pusat Data Harian Republika, mengatakan, sejatinya pekerjaan calo telah ada sejak masa Rasulullah SAW. Dan, beliau tidak melarangnya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadis riwayat Qais bin Abi Gorzah:

عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ قَالَ كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

“Kami pada masa Rasulullah SAW dengan samasirah (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah SAW menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo. Beliau bersabda: 'Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah'" (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah).

Doktor lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini menjelaskan, terdapat perbedaan pendapat diantara pada ulama dalam memandang status upah calo. Mayoritas ulama menyatakan bahwa upah calo harus jelas nominalnya, seperti katakanlah Rp 500 ribu atau Rp 1 juta per transaksi.

Tidak boleh nominalnya dalam bentuk persentase, seperti 10 persen dari hasil penjualan. Alasannya, para ulama menganggap bahwa pendapatan calo masuk dalam kategori jua’lah (hadiah/upah) yang harus jelas nominalnya.

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Bahwasannya Rasulullah SAW melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya” (HR Ahmad).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement