Ahad 06 Oct 2024 07:51 WIB

ASEAN Dinilai Masih Setengah Hati Lakukan Transisi Energi

Kontribusi EBT terhadap total pasokan energi ASEAN baru 15,6 persen.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Transisi energi (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Transisi energi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil Pertemuan Menteri Energi ASEAN (ASEAN Ministers on Energy Meeting, AMEM) ke-42 di Laos bulan lalu dianggap mencerminkan sikap setengah hati kawasan dalam melakukan transisi energi. Lembaga think-tank Institute for Essential Services Reform (IESR) mengakui Asia Tenggara mendorong pengembangan energi terbarukan, namun tetap mempertahankan peran batu bara dan gas dalam transisi energi melalui penggunaan teknologi penyimpanan dan penangkapan emisi (CCS/CCUS).

IESR menekankan demi memitigasi naiknya suhu bumi akibat emisi dari pembakaran energi fosil, ASEAN seharusnya fokus pada upaya mempercepat transisi energi ke energi terbarukan di kawasan. Langkah pengembangan energi terbarukan akan berpengaruh signifikan terhadap pencapaian target iklim global, dibandingkan mengandalkan  teknologi batubara bersih (Clean Coal Technology, CCT).

Dalam laporannya, AMEM juga mendukung perdagangan listrik lintas batas melalui ASEAN Power Grid (APG) untuk memperkuat keamanan energi dan ketahanan kawasan. IESR menyambut positif hal tersebut dengan catatan sumber listrik yang digunakan harus berasal dari energi terbarukan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan upaya memperkuat konektivitas energi di kawasan perlu diimbangi dengan komitmen yang jelas dan penetapan target bauran energi terbarukan yang signifikan untuk dekarbonisasi sektor kelistrikan.

Hingga 2022, kontribusi energi terbarukan terhadap total pasokan energi primer (total primary energy supply, TPES) ASEAN baru 15,6 persen. Peningkatannya hanya 0,2 persen dari 2021. Data ini menunjukkan bahwa negara anggota ASEAN harus bekerja lebih keras untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan.

“ASEAN seharusnya lebih ambisius mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi energi terbarukan seperti energi surya, angin, panas bumi, dan biomassa ke dalam sistem energinya," kata Fabby dalam siaran persnya, Sabtu (10/6/2024).

Fabby menambahkan kerja sama lintas negara dalam APG yang perlu memasukan akselarasi pengembangan pasokan listrik dari energi terbarukan. Selain juga peningkatan integrasi pembangkit energi terbarukan dalam jaringan kelistrikan regional dan di setiap AMS.

Selain itu, pertemuan ini juga membahas peran batu bara yang masih mendominasi bauran energi ASEAN. ASEAN memperlihatkan keengganan untuk segera beralih dari energi fosil dengan sikapnya yang mengapresiasi adopsi teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon, seperti Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

Namun, IESR menilai ASEAN seharusnya fokus pada akselerasi pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang sudah terbukti lebih efektif dan ekonomis. Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi menyoroti teknologi CCS dan CCUS yang secara keekonomiannya masih mahal dengan biaya investasi yang tinggi.

Biaya pengoperasiaan CCS akan semakin mahal  jika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah. Selain itu, teknologi CCS/CCUS belum teruji kehandalannya dalam menurunkan emisi, khususnya di Indonesia.

“Negara di kawasan ASEAN sebaiknya memusatkan upayanya untuk mendorong investasi yang tujuannya menurunkan emisi secara signifikan dan memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang, seperti dengan pemanfaatan energi terbarukan," kata Arief.

Ia menambahkan tren penurunan biaya pembangkitan energi terbarukan menunjukkan teknologi energi terbarukan semakin kompetitif. Sementara investasi pada CCT justru akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan memperbesar risiko aset mangkrak (stranded assets).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement