Senin 07 Oct 2024 17:47 WIB

Akademisi UGM: Ekstremisme Terdapat pada Berbagai Agama

Konflik biasanya terjadi karena adanya relasi mayoritas-minoritas.

Ilustrasi Ekstremisme
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Ekstremisme

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dalam perjalanan bangsa Indonesia sejak merdeka sampai saat ini, Pancasila hadir sebagai jembatan perbedaan suku, ras, bahkan agama yang berbeda. Pancasila mampu menjadi penengah berbagai ideologi ekstrem, seperti komunisme dan ekstremisme berlatar belakang agama, yang tidak terjadi hanya di Islam sebagai agama mayoritas, namun juga di agama lainnya di Indonesia.

Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Leonard Chrysostomos Epafras, mengatakan Indonesia telah banyak belajar dari berbagai insiden yang dipicu oleh isu keagamaan. 

Menurutnya Indonesia punya banyak pengalaman penanganan konflik horizontal, mulai dari insiden maupun kasus besar seperti yang pernah terjadi di Ambon. Radikalisme tidak bisa dikaitkan dengan Islam saja, karena nyatanya ada kombatan di Ambon yang beragama Kristen.

“Mereka mendapatkan doktrin menggunakan Alkitab, namun ditujukan sebagai pembenaran tindak kekerasan yang dilakukan. Tidak hanya di Indonesia, contoh radikalisme umat Kristiani yang lebih masif dan berpola itu bisa kita lihat di Amerika Serikat, Australia dan Eropa, yang biasanya dimotori oleh kelompok berhaluan kanan (Kristen konservatif),” kata Leonard di Yogyakarta, akhir pekan lalu.

Dirinya menyebutkan, ada beberapa kelompok Kristen di mancanegara yang berani berbuat intoleransi, radikalisme, dan terorisme karena peraturan perundang-undangan di negaranya begitu melindungi kebebasan berpikir dan berpendapat. 

Model seperti ini memberikan kesempatan kepada kelompok kanan ekstrem, seperti KKK (Ku Klux Klan) di Amerika Serikat. Kelompok semacam ini menolak ras yang lain, khususnya kulit hitam, dengan justifikasi tafsir Alkitab yang mereka yakini.

Selaku penganut agama Kristen Protestan, menurut Leonard, seharusnya manusia dengan sesamanya harus saling mengasihi. Biar bagaimanapun, manusia yang beragam agama dan latar belakang ini diciptakan dari Tuhan yang sama.

“Setiap insan harus sadar bahwa kita adalah keluarga besar dalam kemanusiaan. Istilah dalam agama Kristen itu oikoumene, yang artinya keluarga besar. Kita semua adalah manusia ciptaan Tuhan yang hidup bersama. Oikumene inilah yang menjadi branding dari PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia), sebagai lembaga payung Kekristenan terbesar di Indonesia. Branding ini digunakan karena menyadari, tiap manusia memang berasal dari satu Pencipta yang sama,” ulas Leonard.

Sebagai bagian dari upaya kelompok Kristen membangun peradaban di Indonesia, ranah pendidikan dan kesehatan menjadi fokus utama dalam kontribusi mereka. Leonard mengatakan bahwa inisiasi dari kedua aspek tersebut sudah lama dijalankan di tengah Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam. Hal ini kemudian dianggap Leonard sebagai bentuk bagaimana umat Kristiani berkontribusi pada integritas sosial dan pembangunan masyarakat secara umum. 

Menurut Leonard, dari kebanyakan kasus intoleransi terhadap perbedaan agama di Indonesia yang Ia pelajari, sebenarnya bukan karena berbedanya agama yang dianut semua pihak yang terlibat. Konflik biasanya terjadi karena adanya relasi mayoritas-minoritas, atau kecemburuan pihak mayoritas terhadap apa yang dimiliki kelompok yang jadi minoritas di suatu wilayah.

“Misalnya di Nusa Tenggara Timur, warga pendatang yang paling banyak berasal dari Bima, Jawa Timur, dan Makassar. Pendatang yang biasanya beragama Islam ini datang dengan usaha, etos kerja, dan akses permodalan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan warga setempat yang beragama Kristen. Ketimpangan yang awalnya murni karena faktor ekonomi, menjadi semakin melebar karena dikait-kaitkan dengan isu perbedaan agama, bahkan seolah menjadi legitimasi atas kecemburuan sosial yang dirasakan,” ungkap Leonard.

Dirinya mengatakan, permasalahan di wilayah-wilayah dengan minoritas Islam biasanya muncul pada waktu misalnya mendirikan masjid atau sarana ibadah lainnya. Kemudian, mayoritas Kristen di sana mempersoalkan umat Islam yang minoritas, kenapa harus membangun rumah ibadah, padahal jumlah mereka sedikit. 

Lucunya, isu yang sama juga bisa ditemukan andaikata situasinya dibalik. Isunya mirip sekali dengan penentangan pembangunan Gereja di berbagai daerah yang mayoritasnya beragama Islam.

Kebencian terhadap umat Islam yang minoritas seolah mendapatkan restu dari ayat-ayat Alkitab yang “disesuaikan” agar mampu menjadi legitimasi atas tindak kekerasan yang telah direncanakan. Seperti misalnya, “bagaimana mungkin gelap dan terang itu jalan bersama?” 

Interpretasi gelap itu jelas milik umat Kristiani yang mayoritas, dan gelap adalah milik umat-umat yang minoritas, termasuk Islam sebagai pendatang. Padahal, menurut Leonard, Yesus berkata sebaliknya dengan firman-Nya, “kasihilah musuhmu,” bahkan musuh saja harus dikasihi.

Leonard berharap agar masyarakat Indonesia bisa lebih matang dan bijaksana dalam menghadapi isu yang berpotensi menimbulkan polarisasi dan gesekan horizontal. Kebersamaan bangsa Indonesia yang dinaungi Pancasila sebagai ideologi bernegara telah berkali-kali melewati ujian kebangsaan, dan hendaknya tetap kuat dalam menghadapi tantangan berikutnya.

“Jangan sampai kita mundur ke era pra-Pancasila, ketika kita tidak punya konsep bersama. Pancasila mungkin bisa ditafsirkan dengan bermacam cara, tetapi tetap menjadi cara kita untuk saling terikat dan berhasil menjadi Indonesia yang seutuhnya,” kata Leonard mengakhiri.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement