REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Standard & Poor's Global menurunkan peringkat kredit Israel imbas meningkatnya pertempuran dengan Hizbullah yang dapat berlanjut hingga 2025 dan mempercepat dampaknya terhadap ekonomi dan keuangan publik negara tersebut, dan juga memperhatikan serangan rudal balistik Iran.
S&P bergabung dengan Moody's dalam menurunkan peringkat utang negara itu untuk kedua kalinya tahun ini. Lembaga pemeringkat itu memangkas peringkat Israel menjadi 'A' dari 'A+'. Lembaga itu mempertahankan prospek negatif karena melihat risiko eskalasi lebih lanjut dalam pertempuran dengan Hizbullah di Lebanon dan risiko perang yang lebih langsung dengan Iran.
"Kami sekarang mempertimbangkan aktivitas militer di Gaza dan peningkatan pertempuran di perbatasan utara Israel, termasuk serangan darat ke Lebanon, dapat berlanjut hingga 2025, dengan risiko pembalasan terhadap Israel," tulis laporan S&P dikutip dari Time of Israel di Jakarta, Senin (7/10/2024).
S&P memperingatkan operasi darat yang lebih luas di Lebanon yang mengharuskan pemanggilan pasukan cadangan juga dapat menghambat pemulihan ekonomi dalam jangka pendek. S&P menyampaikan prospek negatif berarti penurunan peringkat lebih lanjut dapat terjadi jika konflik militer menjadi kerugian yang lebih besar dari yang diantisipasi terhadap pertumbuhan ekonomi, posisi fiskal, dan neraca pembayaran Israel.
Lembaga pemeringkat tersebut menilai penurunan peringkat itu terjadi beberapa jam setelah Iran menembakkan rudal balistik besar-besaran ke Israel pada Selasa yang menyebabkan hampir 10 juta orang mengungsi ke tempat perlindungan bom saat proyektil dan pencegat meledak di langit.
Biaya perang langsung telah membengkak hingga lebih dari NIS 250 miliar atau 66 miliar dolar AS sejak perang pada 7 Oktober meletus setelah pejuang Hamas menyerbu komunitas selatan Israel yang menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menyandera 251 orang di Jalur Gaza.
S&P mengatakan sekarang memperkirakan aktivitas militer di Gaza terus berlanjut, meskipun kemungkinan berkurang, bersamaan dengan pertempuran yang lebih intens dengan Hizbullah yang berlangsung hingga 2025 dan pemulihan ekonomi akan tertunda hingga 2026, dengan asumsi stabilisasi situasi keamanan pada paruh kedua tahun depan.
Oleh karena itu, lembaga pemeringkat tersebut memangkas perkiraan pertumbuhannya menjadi nol persen pada 2024 dan 2,2 persen pada 2025 dari lima persen sebelumnya dan memperingatkan tentang defisit fiskal yang melebar baik dalam jangka pendek maupun menengah karena pengeluaran terkait pertahanan semakin meningkat.