REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelas menengah di Indonesia kini menghadapi tantangan yang serius akibat tekanan ekonomi yang semakin berat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 50 persen penduduk kelas menengah mengalami penurunan taraf hidup sejak pandemi. Fenomena ini menggambarkan bahwa banyak orang terjebak dalam siklus utang dan kesulitan finansial, yang berakar dari pola pikir yang salah.
Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) mengungkap jumlah warga kelas menengah turun lebih dari 8,5 juta jiwa sejak 2018 hingga 2023. Padahal sejak 2014 hingga 2018, jumlah penduduk kelas menengah bertambah hingga lebih dari 21 juta jiwa atau meningkat dari 39 juta jiwa menjadi 60 juta jiwa. Pada periode ini, proporsi kelas menengah meningkat dari 15,6 persen menjadi 23 persen.
Lebih jauh, hasil riset LPEM FEB UI menunjukkan bahwa kesadaran finansial di kalangan kelas menengah masih rendah. Banyak yang terjebak dalam perilaku konsumtif, sering kali dipicu oleh gaya hidup dan FOMO (fear of missing out). Hal ini membuat mereka lebih cenderung mengambil pinjaman online atau menggunakan kartu kredit tanpa perencanaan yang matang, yang pada akhirnya membebani keuangan mereka.
BPS juga mencatat bahwa proporsi keluarga kelas menengah yang mengeluarkan lebih dari 70 persen pendapatan untuk kebutuhan pokok semakin meningkat. Ini menjadi tanda bahwa banyak yang kesulitan menabung atau berinvestasi untuk masa depan.
Menanggapi fenomena ini, Certified Financial Planner (CFP) Rista Zwestika mengtakan, seringkali ada kesalahan mindset yang muncul ketika individu merasa bahwa kondisi keuangan mereka tidak memadai untuk mencapai tujuan tertentu. Rasa putus asa ini mendorong mereka untuk menyerah sejak awal dan mengalihkan uang untuk memenuhi kebutuhan yang lebih bersifat konsumtif, sering kali berdasarkan FOMO.
"Banyak yang terjebak dalam siklus pengeluaran yang tidak perlu, mengabaikan pentingnya perencanaan keuangan," kata Rista kepada Republika dikutip Selasa (8/10/2024).
Tak hanya itu, demi memenuhi keinginan gaya hidup, banyak individu beralih ke pinjaman online yang menawarkan kemudahan akses. Sayangnya, pilihan ini sering kali berisiko.
"Kartu kredit yang seharusnya bisa menjadi alat kontrol pengeluaran justru sering diabaikan. Banyak yang tidak menyadari bahwa kartu kredit menawarkan batasan yang lebih baik dibandingkan paylater yang tidak memiliki kontrol," tambah Rista.
Tanpa ada pengendalian, utang....