REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Marah merupakan salah satu reaksi emosi manusia seperti halnya cinta, rindu, senang, dan gembira. Bedanya, ia lebih karib menjadi "bahasa" di saat kita menghadapi kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, mengecewakan, dan menemukan kondisi tidak sesuai harapan.
Dalam keadaan marah biasanya kontrol diri kita menguap. Kita jadi gelap mata. Kita pun larut dalam gaya khas barbar yang mudah menyalurkan kekesalan dengan tindak anarkis. Inilah yang dikhawatirkan jauh hari oleh Imam Ja'far Al-Shadiq, ''Marah lebih sering membinasakan hati dan kebijaksanaan. Barangsiapa tidak dapat menguasainya, maka ia tidak akan dapat mengendalikan akalnya.''
Ada kisah menarik pada sosok khalifah Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz, menyangkut sifat ini. Suatu saat khalifah beperkara dengan seorang yang sedang mabuk. Ketika ditangkap dan akan dihukum, orang itu tiba-tiba memaki dan menyumpah-serapahi khalifah. Mendengar itu, khalifah langsung menunda proses hukumnya.
''Andaikan kau tidak membuatku marah, niscaya aku sudah menghukummu,'' ucap khalifah.
''Wahai Amiral Mukminin, mengapa setelah pemabuk itu memaki Anda, tiba-tiba Anda membatalkan proses hukumnya?'' tanya seorang warga yang menyaksikan kejadian itu.
''Saudaraku, karena ia membuatku jengkel, maka andaikan aku menghukumnya, mungkin itu karena marahku kepadanya. Dan saya tidak suka memproses hukum seseorang hanya karena membela (kepentingan) diriku.''
Galibnya ego penguasa, cicit Umar bin Khattab yang dianggap sebagai Khulafa ar-Rasyidin kelima ini bisa saja melampiaskan kemarahannya.
Tapi, ia dapat dengan cepat menguasai diri. Bukan membalasnya dengan umpatan atau merekayasa dengan imbuhan hukuman. Sebaliknya, ia justru mampu mengidentifikasi bahwa dirinya sedang marah, karena itu seyogianya ia menangguhkan proses hukum warganya yang seharusnya didera itu.
Memang, memaafkan di saat kita kuasa untuk membalasnya tidaklah gampang. Dibutuhkan kekuatan, kesabaran, dan keimanan untuk itu. Karena, sabar tidaknya seseorang itu tidak dapat diketahui selain di saat marah, bukan? Bukankah orang yang mampu menyapih amarah dan memaafkan kesalahan orang lain itu lebih dicintai Allah?
Dalam Alquran Allah menegaskan, orang yang mampu menahan amarah termasuk golongan orang bertakwa yang berhak atas surga. (QS Ali Imran ayat 133-134). Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, "Orang yang kuat bukanlah orang yang tangkas dalam bertarung, melainkan orang yang bisa menyapih diri ketika marah" (HR Malik).