REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Di tengah genosida yang terjadi di Jalur Gaza, Senator Amerika Serikat Lindsey Graham dari Partai Republik meminta Arab Saudi dan Israel untuk menjalin hubungan diplomatik pada akhir tahun.
Ia memperingatkan bahwa pemerintahan AS berikutnya belum tentu dapat mengamankan cukup suara untuk mendukung kesepakatan tersebut.
Pemerintahan Biden berupaya menjadi penengah kesepakatan normalisasi antara kedua pihak yang akan mencakup jaminan keamanan AS untuk negara Teluk tersebut, di antara kesepakatan bilateral lainnya antara Washington dan Riyadh.
“Kami dapat memperoleh perjanjian antara Amerika Serikat dan Arab Saudi melalui dukungan Senat, perjanjian pertahanan seperti yang Anda miliki di Jepang dan Australia, jika Anda melakukannya di bawah pengawasan Presiden Biden,” ujar Graham, yang dianggap dekat dengan calon presiden dari Partai Republik Donald Trump, mengatakan kepada wartawan di Yerusalem Barat.
“Presiden berikutnya akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan 67 suara,” katanya mengacu pada mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan di Senat AS untuk menyetujui perjanjian pertahanan.
Seperti diketahui masa jabatan Presiden Demokrat Joe Biden akan berakhir pada 20 Januari 2025. Kabar dorongan Saudi untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sebenarnya bukanlah hal baru. Berulangkali isu ini mencuat, namun tetap saja gagal.
Saudi berulangkali menekankan mendorong perdamaian Palestina yang merdeka sebagai salah satu bentuk syarat perbaikan hubungan.
Ketidakpercayaan ke Israel
Sementara itu, sejumlah pejabat tinggi AS dilaporkan mulai putus asa dengan sikap Israel. Dalam laporan Axios mengutip empat sumber, pemerintahan Biden dalam beberapa pekan terakhir semakin tidak percaya pada apa yang dikatakan rezim Israel tentang rencana militer dan diplomatik dalam perang multi-front.
"Kepercayaan kami kepada Israel sangat rendah saat ini dan untuk alasan yang baik," kata seorang pejabat AS.
Para pejabat mengatakan pemerintahan Biden telah dikejutkan beberapa kali baru-baru ini oleh operasi militer atau intelijen Israel.
Dalam beberapa kasus, AS tidak diajak berkonsultasi atau diberi tahu sebelumnya. AS baru diberi tahu karena jet Israel sudah dalam perjalanan untuk melakukan serangan udara di suatu tempat di Timur Tengah.
Para pejabat AS mengatakan menteri pertahanan Lloyd Austin sangat marah ketika mitranya dari Israel Yoav Gallant memberi tahu dia tentang pembunuhan [Hassan] Nasrallah beberapa menit sebelum jet Israel menjatuhkan bom mereka di atas Beirut.
Austin melihatnya sebagai pelanggaran kepercayaan oleh Gallant karena pemberitahuan yang terlambat tidak memungkinkan Pentagon untuk mengambil tindakan untuk melindungi pasukan AS di wilayah tersebut.
Belum ada konfirmasi tentang laporan ini dari Washington. Namun seperti diketahui, AS berulang kali membela Israel. Tidak hanya di PBB, tapi juga di lapangan.
AS menjadi penyuplai Utama senjata Israel. Berdasarkan laporan dari Watson Institute Universitas Brown, Amerika Serikat (AS) telah menggelontorkan dana sebesar 22,76 miliar dolar AS atau sekitar Rp 341,4 triliun untuk mendukung Israel dalam serangan ke Gaza dan operasi di Yaman.
Dari jumlah tersebut, 17,9 miliar dolar AS setara Rp 268,5 triliun merupakan bantuan militer yang diberikan kepada Israel sejak dimulainya konflik di Gaza setahun lalu, angka tertinggi yang pernah dicatat dalam satu tahun.