Selasa 08 Oct 2024 20:55 WIB

Penyebaran Percakapan Pribadi tanpa Izin Berpotensi Langgar UU ITE

Penggunaan data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang tersebut.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
 Seseorang menyebarkan dan memakai data pribadi orang lain tanpa izin (ilustrasi). Penyebaran informasi pribadi tanpa izin berpotensi melanggar UU ITE.
Foto: Jakub Porzycki/NurPhoto
Seseorang menyebarkan dan memakai data pribadi orang lain tanpa izin (ilustrasi). Penyebaran informasi pribadi tanpa izin berpotensi melanggar UU ITE.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum, Ayu Ezra Tiara, menyatakan bahwa tindakan menyebarkan percakapan pribadi tanpa seizin orang yang bersangkutan berpotensi melanggar ketentuan hukum di Indonesia, khususnya terkait Undang-Undang Informasi dan Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE, penyebaran informasi tanpa izin pihak terkait bisa dianggap pidana.

“Penyebaran chat atau telepon ke media sosial, tanpa izin pihak-pihak yang terlibat berpotensi terjerat hukum. Ini bisa dikaitkan dengan Undang-Undang ITE dan perubahannya,” kata Ayu saat dihubungi Republika.co.id pada Selasa (8/10/2024).

Baca Juga

Founder sekaligus Managing Partner Mannaf Lawfirm itu mengungkap beberapa pasal dalam UU ITE yang bisa menjerat penyebaran percakapan pribadi tanpa izin. Pertama pasal 26 UU ITE, yang mengatur bahwa penggunaan data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang tersebut. Jika digunakan tanpa izin, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran tersebut.

Kedua, pasal 27A yang mengatur larangan menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum. Pasal ini memiliki implikasi pidana yaitu 2 tahun dengan denda paling banyak Rp 400 juta.

Selain itu, jika terjadi pelanggaran penggunaan data pribadi seseorang tanpa izin, maka orang yang dilanggar haknya itu dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan. “Untuk menentukan kerugian itu sendiri harus terukur, misalnya kerugian karena ada pembatalan kontrak pekerjaan, atau dia kena hujat, hilang pekerjaan, dan semacamnya,” jelas Ayu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement