Rabu 09 Oct 2024 15:30 WIB

Deforestasi Global Melonjak Tajam, Indonesia Jadi Sorotan

Sebagian besar negara mendukung janji nol deforestasi pada tahun 2030.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Deforestasi hutan di Papua.
Foto: ANTARA FOTO
Deforestasi hutan di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Penelitian dari Climate Focus menemukan kerusakan hutan di seluruh dunia pada tahun 2023 meningkat. Jumlahnya lebih tinggi dibanding tiga tahun lalu ketika 140 negara berjanji untuk menahan laju deforestasi pada akhir dekade.

Para peneliti memperingatkan meningkatnya penggundulan hutan menahan upaya mengatasi krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Climate Focus mencatat pada tahun 2023 hampir 6,3 juta hektare hutan mengalami kebakaran.

Baca Juga

Sekitar 62,6 juta hektare hutan dibabat untuk pembangunan jalan, penebangan, dan hangus terbakar. Lonjakan deforestasi terjadi di Indonesia dan Bolivia, didorong perubahan politik dan tingginya permintaan komoditas seperti daging, kedelai, sawit, kertas dan nikel dari negara-negara kaya.

Peneliti mengatakan upaya pemotongan sukarela tidak menghentikan deforestasi. Menurut mereka, dibutuhkan regulasi yang kuat dan dana yang lebih banyak untuk melindungi hutan.

Laporan Climate Focus menyoroti hutan tropis Amazon, yang mana pemerintah Presiden Luiz Inacio Lula da Silva berhasil memangkas deforestasi hingga 62 persen di tahun pertamanya.

"Intinya sejak awal dekade deforestasi di seluruh dunia  ini bukannya semakin membaik tapi justru semakin memburuk," kata konsultan Climate Focus dan penulis utama penelitian ini, Ivan Palmegiani, seperti dikutip dari the Guardian, Rabu (9/10/2024).

Palmegiani memperingatkan tinggal enam tahun lagi sebelum tenggat waktu janji untuk menghentikan deforestasi di seluruh dunia. Tapi, katanya, hutan terus ditebang, dirusak dan dibakar di tingkat yang memprihatinkan.

"Arah yang baik dapat terjadi bila semua negara dan terutama negara-negara industri membuat prioritas, dengan menanggapi serius tingkat konsumsi mereka yang berlebihan dan mendukung negara-negara yang memiliki hutan," katanya.

Konsultan senior dan salah satu penulis penelitian Erin D Matson mengatakan dalam kondisi yang tepat, negara dapat mengalami kemajuan dalam melindungi hutan. Tapi, tambahnya, perubahan politik dan ekonomi dapat meningkatkan deforestasi.

"Kami melihat dampaknya pada lonjakan deforestasi di Indonesia dan Bolivia, pada akhirnya untuk memenuhi target perlindungan hutan global, kita harus memastikan perlindungan hutan kebal dari perubahan politik dan ekonomi," kata Matson.

Sebagian besar negara mendukung janji nol deforestasi pada tahun 2030 yang disepakati di Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP26) pada 2021 lalu. Koalisi penelitian dan organisasi masyarakat sipil mengeluarkan asesmen perlindungan hutan tahun 2024.

Asesmen yang menggunakan data antara tahun 2018 sampai 2020 sebagai ambang batas menemukan kemajuan perlindungan hutan untuk mencapai target global sudah keluar jalur. Tingkat deforestasi pada tahun 2023 hampir 50 persen lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk mencapai target.

"Deforestasi di Indonesia sendiri meningkat sebesar 57 persen dalam satu tahun. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh melonjaknya permintaan global untuk barang-barang seperti kertas dan logam yang ditambang seperti nikel," kata Matson.

Matson menilai Pemerintah Indonesia tidak melakukan apa-apa dalam melindungi hutan. Tapi ia mencatat pada tahun 2015 sampai 2017 dan 2020 sampai 2022, deforestasi Indonesia paling terendah di antara negara-negara tropis. "Jadi kami berharap kemunduran ini hanya sementara," kata Matson.

Pada tahun 2023, Indonesia memproduksi setengah dari total nikel di seluruh dunia. Bahan baku yang banyak digunakan untuk teknologi ramah lingkungan. “Brasil memberi kita contoh kemajuan positif, tetapi deforestasi di sabana tropis Cerrado meningkat 68 persen dari tahun ke tahun,” katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement