REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pembatalan mendadak kunjungan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant ke AS menjadi tanda tanya. Pembatalan itu, menurut pakar hubungan internasional yang bermarkas di Tel Aviv, Dr Simon Tsipis, lantaran hubungan yang rumit dengan PM Israel Netanyahu.
Menurut Tsipis, Netanyahu takut Gallant mungkin mengincarnya dan akan segera mulai berkomplot melawannya begitu tiba di AS.
"Netanyahu paranoid, ia memiliki 'sindrom raja'," kata Tsipis.
Tsipis berpendapat, Netanyahu terus-menerus takut bahwa seseorang mungkin menggulingkan atau menggantikannya. Paranoianya ini semakin parah setiap hari. Ia melihat pengkhianat di mana-mana, ia melihat musuh di dalam lingkaran dalamnya.
"Melihat bagaimana potensi serangan Israel terhadap Iran merupakan isu yang seharusnya dibahas Gallant dan Austin di AS, Netanyahu pada dasarnya berakhir dengan menyandera seluruh Timur Tengah, termasuk penduduk Israel dan masyarakat Iran," kata Tsipis.
Situasi ini semakin rumit karena fakta bahwa Netanyahu pada dasarnya mencoba 'memeras' AS dengan mengancam akan memulai konflik besar tepat pada malam menjelang pemilihan presiden AS, imbuh pakar tersebut.
"Hubungan antara AS dan Netanyahu cukup tegang. Baik Demokrat maupun Republik tidak dapat menyelenggarakan pemilihan secara normal jika terjadi perang besar di Timur Tengah," jelas Tsipis.
"Semakin dekat pemilihan umum AS, semakin tidak terkendali Netanyahu dan semakin banyak 'tindakan keterlaluan' yang dilakukannya, catat Tsipis.
Ia juga menyatakan bahwa panggilan telepon mendatang antara Netanyahu dan Presiden AS Joe Biden akan terkait dengan situasi keamanan di Timur Tengah.
Netanyahu kemungkinan akan mencari dukungan Amerika Serikat jika terjadi perang dengan Iran, sedangkan Biden mungkin akan menuntut Netanyahu untuk tidak memulai perang tersebut sejak awal.
Terakhir, Tsipis menunjukkan bahwa orang tidak harus menyamakan Benjamin Netanyahu dengan Israel. "Netanyahu tidak mewakili seluruh Israel," tegasnya, dengan alasan bahwa perdana menteri Israel saat ini "bertindak sebagai diktator."