REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Peredaran minuman keras (miras) dilaporkan marak terjadi akhir-akhir ini di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejumlah organisasi masyarakat yang ada di DIY yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU) bersama-sama memberikan pernyataan tentang darurat miras pada September 2024.
Anggota Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ali Yusuf pun membahas terkait miras ini dalam kajian rutin yang digelar di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Ali pun menekankan terkait bahaya dan pengharaman miras atau kadang disebut khamar.
Ali mengatakan, miras yang mengandung alkohol dengan kadar tinggi dapat menyebabkan mabuk. Di dalam Qamus Al-Muhith, katanya, khamar juga sesuatu yang menutupi akal dan menghalangi fungsi normal akal.
“Kemudian di dalam Fathul Bari, khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan dari minuman tanpa memandang asal bahan pembuatnya,” kata Ali dalam keterangan UAD, Rabu (9/10/2024).
Dikatakan Ali, pada zaman jahiliyah, orang-orang sudah terbiasa dengan minuman khamar. Bahkan, khamar dijadikan sebagai minuman untuk suguhan tamu, dan sahabat Nabi pun ada yang pernah meminum khamar.
“Sehingga ketika proses mengharamkan khamar itu tidak bisa sekaligus, tetapi dilaksanakan secara bertahap. Maka dapat diambil faedah bahwa ketika berdakwah pun harus bertahap,” ucap Ali.
Ali menjelaskan, pengharaman khamar memiliki empat fase. Pertama yakni sikap netral yang tidak langsung mengharamkan khamar.
Fase kedua, Allah mulai memberikan arahan untuk menghindari perkara-perkara yang mendatangkan mudarat yakni khamar dan maisir (perjudian). Fase ketiga, lanjutnya, larangan shalat dalam keadaan mabuk.
“Fase keempat adalah pengharaman khamar secara total,” jelasnya.
Ali juga menekankan terkait dampak negatif miras. Mulai dari dampak yang bisa merusak banyak organ tubuh seperti jantung, paru-paru, ginjal, hingga saraf.
Termasuk melemahkan daya pikir, serta gangguan jiwa, menjadi boros, dan lalai terhadap nafkah keluarga. “(Mengonsumsi) Miras juga bisa menimbulkan perselisihan, serta sebagai penyebab malas ibadah, dan sumber keburukan,” ungkap Ali.
Seperti diketahui, MUI DIY, Muhammadiyah, dan NU menyatakan sikap menolak miras, antimiras, dan peredarannya pada 20 September 2024. Pernyataan sikap itu dikeluarkan menyusul penjualan miras yang semakin membahayakan, dengan banyaknya outlet-outlet penjual miras yang legal maupun ilegal. “Bahkan warung-warung kecil pun disisipi dengan berjualan miras,” jelasnya.