Jumat 11 Oct 2024 17:06 WIB

Mengantisipasi Dampak Buruk Deflasi

Resesi ekonomi ditandai dengan pertumbuhan PDB negatif dua kuartal berturut-turut.

Deflasi (ilustrasi)
Deflasi (ilustrasi)

Oleh : Prof. Dr. Anton A Setyawan SE, MSi (Guru Besar Ilmu Manajemen Fak Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta)

REPUBLIKA.CO.ID, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan dalam lima bulan terakhir, Indonesia mengalami deflasi. Berdasarkan laporan lembaga tersebut, Indonesia mengalami deflasi sejak Mei 2024 sebesar 0,03 persen. Selanjutnya, angka deflasi turun menjadi 0,08 persen pada Juni 2024, 0,18 persen Juli, 0,03 Agustus, dan 0,12 September. Indonesia mengalami deflasi terakhir pada masa pandemi Covid-19 karena penurunan permintaan terhadap barang dan jasa.

Deflasi adalah penurunan harga dari barang dan jasa yang disebabkan secara umum karena berkurangnya jumlah uang beredar karena masyarakat menyimpan uangnya di bank. Deflasi juga bisa disebabkan karena masyarakat melihat bahwa kondisi ekonomi secara umum mengalami perlambatan sehingga mereka lebih memilih untuk menahan diri tidak melakukan pembelian. Adapun deflasi yang terjadi di Indonesia pada lima bulan terakhir ini lebih banyak disebabkan karena berkurangnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah.

Penurunan daya beli masyarakat ini terjadi karena adanya masalah di industri padat karya di Indonesia terutama tekstil yang menyebabkan banyak perusahaan tekstil ditutup dan melakukan PHK. Hal ini berdampak langsung dengan bertambahnya jumlah pengangguran dan juga penurunan bisnis pada perusahaan yang ada di rantai pasok tekstil. Penyebab lain juga adanya kenaikan upah minimum yang terlalu kecil sehingga tidak mendorong daya beli masyarakat. Penyebab lain adalah beban bunga bank yang tinggi sehingga masyarakat harus memfokuskan diri untuk membayar cicilan kredit bulanan dan mengurangi konsumsi.

Pada satu sisi deflasi juga bisa meningkatkan konsumsi rumah tangga yang masih mempunyai penghasilan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dari Perkembangan Indeks Harga Konsumen pada bulan September 2024, kelompok yang mengalami deflasi atau penurunan indeks harga adalah kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan penurunan indeks harga sebesar 0,28 persen. Dampak negatif deflasi dalam jangka waktu menengah adalah penurunan kapasitas produksi dari berbagai industri di Indonesia, karena ada penurunan permintaan terhadap barang dan jasa.

Penurunan harga yang merupakan respons dari penurunan permintaan terhadap barang dan jasa bisa merupakan sinyal perlambatan ekonomi. Berdasarkan laporan Perkembangan Nilai Tukar Petani dan Harga Gabah Produsen September 2024, terjadi penurunan indeks konsumsi rumah tangga sebesar 0,28 persen. Konsumsi rumah tangga pada Triwulan II tahun 2024 juga menunjukkan penurunan. Triwulan II tahun 2024 ini konsumsi rumah tangga hanya tumbuh positif sebesar 4,93 persen, angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan Triwulan II tahun 2023 yang mencapai 5,22 persen dan Triwulan II tahun 2022 yang mencapai 5,52 persen. Hal ini berarti mengkonfirmasi deflasi di Indonesia terjadi karena penurunan daya beli masyarakat.

Deflasi dan Resiko Resesi Ekonomi

Resesi ekonomi ditandai dengan pertumbuhan PDB negatif dalam dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia pada triwulan I tahun 2024 sebesar 5,11 persen, sementara pada triwulan II 2024 turun menjadi 3,79 persen. Namun demikian, secara year on year pertumbuhan PDB pada triwulan II tahun 2024 tumbuh sebesar 5,05 persen. Pada sisi pengeluaran lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum menyumbangkan 10,17 persen untuk pertumbuhan PDB dari berdasarkan lapangan usaha. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan data tidak ada gejala resesi.

Deflasi yang terjadi saat ini belum memunculkan resiko krisis ekonomi seperti tahun 1998 atau 2008. Hal ini dikarenakan indikator makro ekonomi masih dalam kondisi normal, meskipun ada gejala perlambatan ekonomi. Permasalahan ekonomi di tahun 2025 adalah perlunya meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi dengan porsi investasi yang mengalami peningkatan. Salah satu penyebab munculnya deflasi adalah peningkatan jumlah pekerja yang di PHK dari industri padat karya, terutama tekstil. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) jumlah pekerja yang di PHK sampai dengan bulan Agustus 2024 mencapai 45.762 orang. Apabila tidak ada perbaikan dari sisi penciptaan lapangan kerja, maka kondisi ini bisa memburuk.

Penurunan daya beli masyarakat juga disebabkan karena penurunan jumlah kelas menengah Indonesia. Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah sejak tahun 2019. Tahun 2019, jumlah kelas menengah Indonesia sebanyak 57,33 juta orang, jumlah ini turun menjadi 53,83 juta orang pada tahun 2021, selanjutnya pada tahun 2022 jumlah penduduk kelas menengah turun menjadi 49,51 juta orang. Tahun 2023 jumlah kelas menengah turun menjadi 48,27 juta orang dan pada tahun 2024 kelas menengah Indonesia turun menjadi 47,85 juta orang.

Penurunan jumlah kelas menengah ini menjadi indikator adanya masalah dari sisi industri. Data diatas menunjukkan peningkatan jumlah PHK yang dialami pekerja sektor formal dan tren lma tahun terakhir juga menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah.

Apa Yang Harus Dilakukan?

Ada dua hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengurangi dampak negatif deflasi. Pertama, dalam jangka pendek perlu meningkatkan daya beli masyarakat. Ada dua cara untuk melakukan hal ini, pertama, memberikan bantuan pada masyarakat kelas menengah dengan penghasilan bulanan antara Rp 3-5 juta. Bantuan yang diberikan bisa berbentuk uang tunai, kupon makan, subsidi kepemilikan perumahan (bukan mekanisme Tapera), subsidi biaya pendidikan dan kesehatan dengan menambah jumlah penerima Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat.

Kedua, mengurangi beban pengeluaran kelompok masyarakat kelas menengah dengan penghasilan Rp 3-5 juta dengan menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, yang rencananya dinaikkan menjadi 12 persen pada tahun 2025. Untuk meningkatkan peningkatan penerimaan pajak lebih baik pemerintah mengintensifkan penerimaan pajak dari kelompok masyarakat kelas atas di Indonesia. Kegagalan program tax amnesty pemerintahan Jokowi seharusnya menjadi pelajaran untuk menyusun program baru demi mengintensifkan penerimaan pajak bagi kelompok masyarakat kelas atas di Indonesia.

Dampak negatif deflasi juga bisa diatasi dengan memperbaiki iklim investasi dengan memberikan insentif investasi kepada investor industri padat karya yang menyerap tenaga kerja lebih banyak. Gejala berkurangnya lapangan kerja di sektor formal saat ini semakin nyata dengan banyaknya pabrik tekstil yang ditutup.

Bisnis digital dan industri padat modal seperti pertambangan memang Tengah mengeliat di Indonesia, tetapi daya serap tenaga kerja industri ini tidak sebesar industri padat karya. Insentif terhadap industri padat karya juga perlu dilakukan dengan melindungi industri lokal dari serbuan produk impor yang harganya murah. Dalam kondisi masyarakat yang berdaya beli rendah produk impor yang murah ini menjadi pilihan bagi mereka. Hal ini tentu semakin memukul indutri lokal yang bersifat padat karya.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement